Pepeling Prabu Tajimalela: Warisan Nilai Kultural Sumedang Larang

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI

Abstrak

Pepeling Prabu Tajimalela merupakan salah satu warisan kultural penting dalam kebudayaan Sunda, khususnya di wilayah Sumedang Larang. Amanat yang terkenal melalui pesannya, “Ingsun titip tajug, Ingsun titip jalan”, tidak hanya berisi perintah menjaga tempat ibadah dan moralitas sosial, tetapi juga menyimpan pesan filosofis tentang tata kehidupan, etika sosial, dan nilai-nilai budaya. Artikel ini membahas makna pepeling Tajimalela dari perspektif sosial-budaya serta relevansinya bagi kehidupan masyarakat masa kini.

Pendahuluan

Di antara para pemimpin leluhur Sunda, Prabu Tajimalela adalah tokoh yang namanya paling sering muncul dalam sejarah Sumedang Larang. Meskipun catatan tertulis kunonya tidak banyak, pesan-pesan kehidupan yang diwariskannya hidup dalam tradisi lisan dan adat masyarakat. Pepeling ini menjadi pedoman moral yang terus berjalan lintas generasi, sekaligus simbol identitas lokal.

Makna Filosofis Pepeling Tajimalela

Ingsun titip tajug

Tajug” bukan hanya bangunan tempat ibadah. Dalam pandangan budaya Sunda, tajug melambangkan:

  • Kesucian batin;
  • Nilai ketauhidan; serta
  • Adab keberagamaan.

Pesan ini bermakna bahwa masyarakat hendaknya menjaga:

  • Kesucian ajaran agama;
  • Pendidikan moral dan spiritual;serta
  • Nilai-nilai adab dalam kehidupan sehari-hari.

Ingsun titip jalan

Jalan” bukan hanya ruang fisik. Ia merupakan simbol dari:

  • Jalur kebaikan;
  • Etika pergaulan;
  • Aturan sosial;serta
  • Moralitas publik.

Pesan ini menegaskan bahwa kerusakan moral akan membawa kerusakan sosial, dan masyarakat harus menjaga arah hidupnya tetap berada pada nilai-nilai kebaikan.

Relevansi Pepeling dalam Kehidupan Modern

Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, masyarakat menghadapi berbagai tantangan berupa:

  • Melemahnya etika sosial;
  • Menurunnya sopan santun;
  • Lunturnya rasa hormat antar generasi;
  • Meningkatnya individualisme.

Pepeling Tajimalela mengingatkan bahwa identitas masyarakat Sunda dibangun atas fondasi nilai budi pekerti, tradisi gotong royong, serta penghormatan kepada sesama.

Pepeling sebagai Identitas Lokal

Di Sumedang, pepeling ini hadir dalam:

  • Ajaran dan petuah kasepuhan;
  • Tradisi adat;
  • Narasi sejarah lokal; serta
  • Praktik sosial sehari-hari.

Keberadaannya menegaskan bahwa masyarakat Sumedang memiliki karakter religius, berbudaya, serta menjunjung tinggi adab dan nilai kemanusiaan.

Kesimpulan

Pepeling Prabu Tajimalela bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi sistem nilai yang relevan untuk membangun karakter masyarakat masa kini. Ajakan menjaga “tajug” dan “jalan” adalah ajakan menjaga moral, iman, dan etika, sehingga masyarakat tetap kuat menghadapi perubahan zaman.

Kolaborasi Jadi Kunci Pelestarian Naskah Nusantara

Salemba — Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), E. Aminudin Aziz, menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat baik individu maupun komunitas dalam upaya preservasi naskah Nusantara.

Hal tersebut disampaikan Kepala Perpusnas pada saat membuka secara resmi kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Diskusi Kolaboratif Preservasi serta Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas dengan tema Kolaborasi pemerintah dan komunitas dalam menjaga dan menghidupkan naskah kuno Nusantara, Rabu (29/10/2025).

Menurutnya, kolaborasi ini bukan hanya penting, tetapi juga merupakan amanat dari regulasi nasional, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menetapkan naskah atau manuskrip sebagai salah satu dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan.

“Baik pemerintah dan komunitas, memiliki tanggung jawab masing-masing. Peran pemerintah misalnya memberikan fasilitasi yang kali ini dikemas dalam bentuk bimbingan teknis, sementara peran komunitas adalah merawat dengan baik naskah-naskah tersebut,” jelasnya.

Ia menambahkan, peran komunitas bukan hanya merawat fisik naskah Nusantara semata tetapi yang lebih utama adalah membuat naskah-naskah Nusantara dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas yang kemudian pemanfaatannya dapat dikolaborasikan dengan berbagai pihak.

“Salah satu contohnya adalah naskah Sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Saya sampaikan kepada Gubernur Jawa Barat agar naskah ini dimanfaatkan. Gubernur kemudian memerintahkan aparatnya untuk mengkaji naskah tersebut dan menjadikannya dasar dalam pembuatan bacaan sederhana bagi anak-anak di sekolah. Karena isinya tentang resi dan nilai pengabdian, maka nilai-nilai itu juga dapat disebarkan kepada Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat,” jelasnya.

Selain itu, Kepala Perpusnas menekankan dua hal penting lainnya dalam upaya pelestarian naskah Nusantara yakni tidak abai terhadap keberadaan naskah kuno, serta tidak mengabaikan substansi atau nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Kepala Pusat Preservasi dan Ahli Media Bahan Perpustakaan, Tri Luki Cahya Dini, menyampaikan para peserta bimbingan teknis akan mengikuti empat kelas utama yaitu praktik presentasi preventif sederhana pada naskah kuno, praktik pembuatan kotak sarana penyimpanan atau portepel, praktik restorasi atau perbaikan sederhana pada naskah kuno dan materi serta praktik digitalisasi naskah.

“Harapan kami kegiatan ini dapat menjadi wadah peningkatan kapasitas dan penguatan jejaring kerjasama antar pemerintah, komunitas, pondok pesantren serta masyarakat pelestari naskah. Dengan bekal keterampilan yang diperoleh, para peserta dapat menerapkannya di bidang masing-masing sehingga pelestarian naskah kuno dapat berjalan secara lebih mandiri dan berkelanjutan,” jelasnya.

Perwakilan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Budi Wahyono, memaparkan kolaborasi dengan perpustakaan kabupaten/kota se-Jawa Tengah serta beberapa perguruan tinggi sebagai upaya pelestarian naskah kuno. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperkuat pengelolaan, pendataan, dan digitalisasi naskah kuno agar lebih mudah diakses dan dilestarikan.

“Koordinasi rutin dilakukan secara daring melalui Zoom untuk berbagi informasi dan merencanakan kegiatan bersama. Selain itu, perwakilan dari kabupaten/kota sering datang langsung ke provinsi untuk melakukan konsultasi terkait pengelolaan dan pelestarian naskah,” tuturnya.

Sementara itu, pimpinan dari komunitas Nahdlatul Turots, Kiai Utsman Hasan, menyampaikan dalam salah satu naskahnya Syaikhona Muhammad Kholil menekankan pentingnya mencintai negeri atau tempat kelahiran sebagai bagian dari keimanan. 

“Nilai itu kami warisi hingga kini. Ketika membuka naskah, kami semakin kuat merasakan ikatan cinta tanah air dan mengekspresikannya dengan merawat naskah agar tidak hilang atau rusak,” tuturnya.

Dosen sekaligus pengurus komunitas Nahdlatul Turots, Ustadz Moh. Ainur Ridha, menambahkan Nahdlatul Turots merupakan konsorsium atau komunitas yang menghimpun naskah-naskah pesantren, karya para ulama serta naskah-naskah keislaman lainnya yang berdiri sejak tahun 2021.

“Komunitas ini hadir dengan semangat membangkitkan dan membumikan kembali naskah-naskah kuno ulama Nusantara sebagai warisan intelektual bangsa. Nahdlatul Turots menjalankan tiga asas Khidmat Nahdlatul Turots yaitu inventarisasi, preservasi dan diseminasi,” jelasnya.

Peneliti naskah kuno sekaligus perwakilan dari komunitas Sraddha Sala, Rendra Agusta, menyampaikan berdirinya komunitas Sraddha Sala berawal dari keprihatinan terhadap minimnya peneliti naskah kuno Jawa khususnya naskah Merapi-Merbabu yang jumlahnya terus menurun.

“Sraddha Sala didirikan oleh kalangan akademisi lintas kampus seperti UGM, UNS, dan UI dan berjalan secara mandiri selama hampir satu dekade. Sraddha Sala memiliki tiga pilar kegiatan, yaitu institut untuk riset, komunitas sebagai ruang lintas disiplin, dan store yang menjadi penopang ekonomi gerakan,” tuturnya.

Turut hadir dalam kegiatan ini, Sekretaris Utama, Joko Santoso, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, Suharyanto, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Pusat Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Yeri Nurita, Kepala Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan, Supriyanto, Kepala Pusat Data dan Informasi, Wiratna Tritawirasta serta para peserta bimtek yang hadir secara luring maupun daring.

Reporter: Anastasia Lily

Dokumentasi: Ahmad Kemal Nasution

Disclaimer: Seluruh isi berita ini diambil dari Website Resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dari tautan ini: https://www.perpusnas.go.id/berita/kolaborasi-jadi-kunci-pelestarian-naskah-nusantara

Pengelolaan Naskah Kuno di Sumedang Masih Terkendala, Survei Ungkap Lima Masalah Utama

Sumedang — Hasil survei yang dilakukan Komunitas PENAKU terhadap 29 responden yang terdiri dari unsur pengurus dan anggota Komunitas PENAKU mengungkap adanya lima masalah utama dalam pengelolaan naskah kuno di Kabupaten Sumedang. Temuan ini diperoleh melalui formulir Google yang dianalisis secara tematik sebagai bagian dari kegiatan pemetaan pengelolaan naskah kuno di Kabupaten Sumedang.

Survei menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia (SDM) merupakan kendala paling dominan. Minimnya tenaga ahli filologi, konservasi, dan manajemen naskah, serta rendahnya pemahaman masyarakat, menyebabkan banyak naskah belum dikelola secara optimal.

Selain itu, responden menyoroti tantangan fisik dan teknis, seperti kondisi naskah yang rapuh, kurangnya fasilitas penyimpanan standar, dan belum adanya integrasi teknologi digital sebagai penunjang akses serta pelestarian.

Dari sisi kebijakan, survei mencatat keterbatasan anggaran, belum adanya regulasi khusus, dan birokrasi yang rumit sebagai faktor penghambat. Akses terhadap naskah juga terbatas akibat inventarisasi yang belum tuntas dan masih banyaknya naskah yang disimpan secara pribadi.

Pemanfaatan konten naskah juga dinilai rendah. Banyak naskah belum diterjemahkan, belum dikaji secara ilmiah, dan belum disajikan dalam bentuk yang mudah diakses oleh masyarakat.

Dalam paparannya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pemetaan, Kusnandar selaku pengurus Komunitas PENAKU menyampaikan bahwa temuan ini menggambarkan kondisi nyata lapangan dan menjadi dasar penting bagi penyusunan strategi pelestarian ke depan.

Permasalahan yang teridentifikasi ini menunjukkan bahwa pengelolaan naskah kuno membutuhkan kerja bersama, bukan hanya oleh komunitas, tetapi juga pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Tanpa kolaborasi dan dukungan berkelanjutan, warisan intelektual Sumedang terancam hilang,” ujar Kusnandar.

Lebih lanjut, hasil survei juga memuat enam usulan strategis, meliputi pendataan komprehensif, konservasi dan digitalisasi, transliterasi-terjemahan, edukasi publik, penguatan kolaborasi kelembagaan, serta pengembangan akses terbuka melalui katalog digital.

Temuan ini diharapkan menjadi pijakan bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan kebijakan yang lebih terarah serta membangun sistem pengelolaan naskah kuno yang berkelanjutan di Kabupaten Sumedang.

Diskusi Kolaboratif Preservasi dan Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas

Pusat Preservasi dan Alih Media Bahan Perpustakaan menyelenggarakan Diskusi Kolaboratif Preservasi dan Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas Bersama Nahdlatut Turots Bangkalan & Sraddha Sala Institute pada tanggal 29 Oktober 2025. Diskusi tersebut direkam dan ditayangkan pada video yang diterbitkan oleh Youtube Channel: Preservasi Perpusnas.

Ringkasan Materi Video:

Video ini membahas upaya kolaboratif antara pemerintah, perpustakaan nasional, komunitas, pesantren, dan berbagai institusi dalam preservasi dan digitalisasi naskah kuno Nusantara. Melalui portal Khastara dan program berbasis komunitas seperti Nahdlatut Turots dan Sraddha Sala Institute, dilakukan pelestarian fisik, digitalisasi, katalogisasi, hingga pemanfaatan budaya yang menjaga warisan intelektual bangsa tetap hidup dan relevan bagi generasi masa depan. Selain itu, video juga menampilkan tutorial pembuatan kotak penyimpanan naskah dan perawatan dokumen kuno untuk memperlambat kerusakan fisik, menegaskan pentingnya pelestarian bersama agar identitas budaya dan sejarah bangsa tidak hilang.

Awal dan Konteks Pelestarian Naskah Kuno

  • [00:00] Pelestarian naskah kuno dilakukan secara kolaboratif antar berbagai lembaga dan komunitas dari Aceh hingga Papua, dengan portal Hastara sebagai sarana utama digitalisasi dan diseminasi.
  • [03:00] Mikrofilm sebagai media penyimpanan informasi kuno dari lontar di Sulawesi Selatan didigitisasi untuk menyelamatkan warisan budaya yang terancam hilang akibat kerusakan fisik.
  • [06:00] Koleksi perpustakaan nasional meliputi ribuan naskah kuno, buku langka, surat kabar, foto, peta, dan lukisan sebagai bukti perjalanan sejarah dan peradaban Indonesia, namun menghadapi ancaman kerusakan fisik akibat waktu dan lingkungan.

Strategi dan Peran Kolaborasi dalam Pelestarian

  • [11:00] Pelestarian fisik dan digitalisasi dilakukan oleh konservator, pustakawan, dan komunitas secara profesional dengan tujuan menjaga keaslian dan nilai luhur yang tersimpan dalam naskah.
  • [14:00] Portal Khastara dilengkapi dengan fitur interaktif, pencarian tematik, dan peta persebaran kerusakan, sebagai wujud profesionalisme dan upaya pelestarian budaya digital yang mudah diakses.
  • [17:00] Contoh konkret komunitas Nahdlatut Turots di Bangkalan Madura yang berhasil mendigitalisasi ribuan manuskrip keagamaan sebagai model pelestarian berbasis masyarakat yang didukung pemerintah.

Pelibatan Komunitas Pesantren dan Lembaga Lokal

  • [20:00] Pesantren dan komunitas lokal memegang peranan penting dalam memelihara dan mengelola naskah secara berkelanjutan melalui pendekatan persuasif dan kaderisasi, memadukan tradisi dan teknologi.
  • [22:00] Sraddha Sala Institute di Surakarta menunjukkan bagaimana naskah kuno dapat dijadikan basis riset, pendidikan, hingga pengembangan ekonomi kreatif berbasis warisan budaya Nusantara.
  • [25:00] Pemerintah daerah, seperti Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Tengah, berkolaborasi dengan komunitas dan perguruan tinggi untuk memperkuat pelestarian naskah dari lokus-lokus di seluruh wilayah.

Teknik Preservasi dan Digitalisasi Praktis

  • [28:00] Tutorial pembuatan portepel (kotak penyimpanan khusus) yang dirancang untuk meminimalisir kerusakan naskah dengan bahan dan alat yang mudah didapat serta teknik lem dan pemasangan tali pengikat.
  • [31:00] Perawatan fisik naskah seperti mending (tambal dokumen) menggunakan tisu Jepang dengan serat panjang dan lem khusus untuk memperbaiki robekan dan lubang pada dokumen agar tetap terbaca dan kuat.
  • [33:00] Penjelasan detail teknik laminasi dan trimming dokumen agar dokumen yang sudah diperbaiki dapat awet dan estetis tanpa merusak isi penting naskah.

Tantangan, Solusi, dan Harapan Masa Depan

[42:00] Harapan besar pemerintah dan komunitas agar kolaborasi dilanjutkan dan diperkuat, dengan peran pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan komunitas dalam perawatan lokal, demi menyelamatkan warisan intelektual bangsa secara berkelanjutan.

[36:00] Diskusi panel menyoroti pentingnya akses terbuka dalam pelestarian naskah dan etika menjaga sakralitas teks, serta upaya menjaga agar informasi tetap tersebar luas tanpa merugikan pemilik manuskrip.

[39:00] Kiat merangkul masyarakat untuk menemukan dan melestarikan naskah kuno meliputi sosialisasi, edukasi, dan membangun kepercayaan agar naskah yang dianggap pusaka dapat menjadi pustaka yang bermanfaat secara ilmiah dan budaya.

Hubungan Manusia dengan Alam di Tanah Sunda dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadits

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI

Abstrak

Kebudayaan Sunda dikenal memiliki pandangan hidup yang sangat menghargai alam. Alam dipandang bukan sekadar sumber kehidupan, melainkan sahabat spiritual dan cerminan kebesaran Sang Pencipta. Artikel ini membahas hubungan manusia dan alam dalam pandangan budaya Sunda, serta meninjaunya dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Hasil kajian menunjukkan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukan hanya nilai budaya, tetapi juga ajaran teologis yang kuat dalam Islam.

Kata kunci: Sunda, Alam, Ekologi Islam, Al-Qur’an, Hadits, Kearifan Lokal.

Pendahuluan
Orang Sunda kerap berkata, “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.” Artinya: jika hutan rusak dan air hilang, maka manusia akan sengsara. Ungkapan ini bukan sekadar peribahasa, tetapi pandangan filosofis yang lahir dari kesadaran ekologis mendalam. Bagi masyarakat Sunda, alam adalah “guru” yang mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan ketertiban hidup. Nilai-nilai ini sejatinya sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah (pemelihara) di bumi. Dalam Al-Qur’an, manusia tidak diperintahkan untuk menaklukkan alam, melainkan mengelola dan menjaga keseimbangannya. “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi.” (QS. Fathir [35]: 39)

Pandangan Alam dalam Falsafah Sunda
Dalam pandangan tradisional Sunda, alam disebut sebagai “karuhun hirup” — leluhur yang hidup, bukan benda mati. Gunung, leuweung (hutan), walungan (sungai), jeung taneuh (tanah) dipandang memiliki ruh dan martabat yang harus dihormati. Pepatah Sunda sering menasihatkan: “Ngajaga leuweung sarua jeung ngajaga diri sorangan.” Menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan sendiri. Sikap ini bukan bentuk penyembahan alam, tetapi ekspresi rasa hormat terhadap ciptaan Tuhan. Alam adalah titipan Gusti, bukan milik manusia sepenuhnya. Dalam konteks ini, pandangan Sunda sejajar dengan prinsip Islam bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 120)

Manusia sebagai Khalifah dan Amanah Ekologis
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk beribadah dalam arti ritual, tetapi juga untuk menjaga bumi sebagai amanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Khalifah berarti pemimpin yang bertanggung jawab — bukan penguasa yang sewenang-wenang. Dalam konteks budaya Sunda, nilai ini terwujud dalam konsep “silih asih, silih asah, silih asuh” — hidup dengan kasih, belajar bersama, dan saling menjaga, termasuk menjaga lingkungan sekitar.

Alam sebagai Ayat Kauniyah
Baik dalam budaya Sunda maupun Islam, alam dilihat sebagai tanda kebesaran Tuhan (ayat kauniyah). Gunung, hujan, dan tumbuhan menjadi simbol keteraturan dan kasih sayang Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.”(QS. Ali ‘Imran [3]: 190). Orang Sunda memaknai hal ini dengan pendekatan rasa: ngarasakeun alam — merasakan, bukan sekadar melihat. Rasa hormat terhadap alam adalah bentuk dzikir budaya; yaitu mengingat Tuhan lewat ciptaan-Nya.

Hadits tentang Etika Alam
Rasulullah ﷺ mencontohkan akhlak ekologis dalam banyak hadits. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau binatang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 2320, Muslim no. 1553). Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya“. (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Nilai-nilai ini sangat dekat dengan filosofi Sunda tentang tata titi duduga peryoga — berbuat sesuatu dengan hati-hati, tidak merusak keseimbangan, dan selalu mempertimbangkan akibat terhadap alam dan sesama makhluk.

Harmoni sebagai Landasan Spiritualitas
Hubungan manusia dan alam di tanah Sunda berlandaskan prinsip harmoni: manusa, alam, jeung Gusti berada dalam satu kesatuan kosmis.
Islam pun menegaskan bahwa semua makhluk bertasbih kepada Allah: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kamu tidak memahami tasbih mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: 44). Maka, ketika manusia menjaga alam, ia sesungguhnya sedang menghormati makhluk lain yang juga sedang beribadah. Kerusakan alam berarti mengganggu harmoni tasbih semesta.

Kesimpulan
Hubungan manusia dengan alam dalam pandangan Sunda dan Islam berangkat dari prinsip yang sama: keseimbangan, penghormatan, dan tanggung jawab. Masyarakat Sunda mengenal konsep “leuweung hejo, cai hérang, manusa ngarumat” — hutan hijau, air jernih, manusia pemelihara. Islam menegaskan prinsip yang sama melalui ayat dan hadits tentang khalifah, larangan merusak bumi, dan anjuran menanam serta berbuat baik terhadap makhluk hidup. Maka, menyatukan nilai-nilai budaya Sunda dan ajaran Islam bukanlah hal baru, melainkan kembali pada akar keislaman Nusantara yang menjunjung tinggi harmoni antara iman, ilmu, dan alam.

Daftar Rujukan

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
  3. Nasr, S. H. (1993). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
  4. Tim BPNB Jawa Barat. (2019). Nilai-Nilai Ekologis dalam Tradisi Sunda. Bandung: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
  5. Danasasmita, S. (1986). Filsafat Hidup Orang Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Sunda.

Catatan Reflektif:
Tulisan ini bisa diakhiri dengan kutipan pribadi seperti: “Menjaga alam bukan hanya kewajiban budaya, tetapi ibadah yang menghidupkan jiwa. Alam adalah kitab Allah yang terbentang luas di Tanah Sunda.
— Mahdi, Rumah Literasi BERSERI

Diskusi Kritis Buku Wijaya: Wacana Kritis Sejarah Hubungan Majapahit dan Padjadjaran

Sebuah tayangan video yang diterbitkan oleh Youtube Channel: HUMAS FISIP Unpad tentang Seminar Nasional bertema “Diskusi Kritis Buku Wijaya: Visual Majapahit” yang membahas wacana kritis seputar sejarah dan polemik hubungan Majapahit & Padjadjaran — dari masa lalu, kini, hingga masa depan — bersama Penulis dan Penerbit Serta para narasumber yang Ahli di bidang sejarah.

Rumah Pintar Al-Barokah: Warisan Luhur Guru Qolbu Een Sukaesih di Batu Karut

Rumah Pintar Al-Barokah: Warisan Luhur Guru Qolbu Een Sukaesih di Batu Karut

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Dusun Batu Karut RT 01 RW 06, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

Kabut tipis menyelimuti Dusun Batu Karut di pagi hari. Embun menempel di daun-daun hijau, sawah memantulkan cahaya mentari pagi seperti permadani hijau keemasan, sementara kolam ikan memantulkan sinar hangat dari balik lereng Gunung Tampomas. Aroma tanah basah bercampur wangi pepohonan menciptakan udara segar yang menenangkan jiwa.

Di tengah suasana damai itu, terdengar suara riang anak-anak yang memenuhi halaman Rumah Pintar Al-Barokah, warisan luhur dari Guru Qolbu Een Sukaesih almarhumah. Di sinilah generasi muda Batu Karut belajar, bermain, dan menemukan cahaya pengetahuan yang diwariskan oleh sang guru.

Pak Guru Mahdi, pengelola Rumah Pintar sekaligus guru literasi yang aktif berinteraksi dengan warga, menyapa anak-anak sambil menyiapkan buku dan alat tulis.

“Selamat pagi, Satria, Rafan, Delia Putri, Tantan, Rangga, Shidiq, Nofal, Farhan,” sapa Pak Guru Mahdi hangat. “Hari ini kita belajar sambil mengenal alam sekitar kampung.”

Di dekat kolam, Abah Edod sedang memeriksa ikan dan menjelaskan cara memberi pakan. “Nak, kalau kita merawat kolam dengan tekun, ikan akan sehat. Sama seperti menanam padi,” ujarnya sambil tersenyum.

“Selamat pagi, Pak Edod!” seru anak-anak serentak.

“Selamat pagi, Nak! Hari ini kita belajar menjaga kolam dan sawah sekaligus,” jawab Abah Edod.

Tak jauh dari situ, Mang Jajang Taryana, juragan ikan bawal, memberi pakan pada kolam bawalnya yang besar. “Pagi, Pak Jajang!” sapa Abah Edod.

“Pagi, Pak Edod! Anak-anak ingin lihat ikan bawal kan? Hari ini kita tunjukkan cara merawat ikan biar sehat dan gemuk,” jawab Mang Jajang sambil tersenyum.

Sementara itu, anak-anak di halaman Rumah Pintar menanam sayuran di polybag. Mereka menghitung bibit, menulis nama tanaman, dan saling membantu. Pak Guru Mahdi membimbing mereka dengan sabar, menjelaskan pentingnya menjaga tanaman agar tetap subur dan ramah lingkungan.

“Rumah Pintar ini penting bagi Batu Karut,” kata Abah Taya, tokoh tua kampung, sambil menepuk pundak Satria. “Selain membaca dan menulis, anak-anak belajar mencintai alam—air, sawah, dan ikan. Semua bagian dari kehidupan.”

Di bangku bambu tepi kolam, Pak Guru Mahdi menikmati suara cicit burung, gemericik air, dan tawa anak-anak yang berpadu harmonis. Mang Nanang menyeduh kopi hangat untuk tetangga yang datang dari sawah, sambil tersenyum melihat anak-anak belajar.

Sore Hari di Rumah Pintar: Delia Putri dan Teman-Temannya

Sore itu, sinar matahari menembus sela-sela pepohonan, menyinari halaman Rumah Pintar. Delia Putri, salah satu murid, duduk di bawah pohon kecil sambil membaca buku cerita bergambar dan mencatat hal-hal menarik di buku catatannya.

“Di sini, saya merasa bebas belajar dan mencoba hal baru,” kata Delia sambil tersenyum malu-malu.

Teman-temannya—Sinta, Tantri, Euis, Wina, Febriani, Tiara Rizki, Cindy, Candra, Teguh, Upit, Ega, Eni, dan Haris—bergabung dengannya. Mereka belajar, bermain, dan mengeksplorasi kreativitas bersama. Rumah Pintar Al-Barokah bukan sekadar tempat membaca dan menulis; di sini anak-anak belajar persahabatan, gotong royong, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Percakapan mereka penuh canda dan tawa:

Delia: “Eh, teman-teman, kalian lihat ini gambar naga di bukuku? Seru banget kan?”

Sinta: “Wah, keren! Aku suka warna merahnya, Delia!”

Tantri: “Aku juga pengen punya buku cerita kayak gitu. Bisa minta pinjam nggak, Delia?”

Delia: “Boleh banget. Nanti habis baca, kita tukar-tukaran cerita ya.”

Euis: “Aku tadi bikin poster tentang gotong royong. Mau aku tunjukkan?”

Wina: “Ayo, Euis! Aku penasaran hasilnya.”

Febriani: “Bagus banget, Euis! Warna-warnanya ceria banget.”

Tiara Rizki: “Beneran deh, kalau semua poster digantung di sini, Rumah Pintar Al-Barokah bakal makin ramai.”

Cindy: “Setelah ini kita bisa menanam tanaman juga, kan? Aku mau tanam bunga.”

Candra: “Aku mau bantu bikin papan nama untuk bunga-bunga itu!”

Teguh: “Aku sama Upit mau bersihin halaman biar tempat belajar kita makin nyaman.”

Upit: “Setuju, ayo kita mulai sekarang!”

Ega: “Delia, nanti kita bikin cerita bareng ya. Aku mau jadi tokoh utama!”

Eni: “Aku bisa jadi ilustratornya!”

Haris: “Aku bantu bikin latar belakang ceritanya. Biar ceritanya lengkap.”

Delia: “Asik banget! Kalau gitu, sore ini kita bikin cerita bareng dan setelahnya bisa baca buku lagi. Rumah Pintar Al-Barokah memang tempat paling seru!”

Pak Guru Mahdi menjelaskan, “Ibu Qolbu Een ingin setiap anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki hati yang lembut dan karakter yang kuat. Rumah Pintar ini adalah warisan beliau yang hidup setiap hari melalui anak-anak dan warga sekitar.”

Kegiatan di Rumah Pintar berlangsung beragam: membaca buku, menulis kreatif, membuat kerajinan tangan, hingga kegiatan seni dan budaya lokal. Anak-anak juga dilibatkan dalam menanam tanaman, membuat poster, dan kegiatan gotong royong, menanamkan nilai kepedulian dan kerja sama.

Belajar di Alam dan Musim Hujan

Beberapa minggu kemudian, hujan turun membasahi atap bambu Rumah Pintar dan sawah di sekitarnya. Suara gemericik air menyatu dengan tawa anak-anak yang bermain di sawah dan tepi kolam.

“Pak Guru Mahdi, air sawah penuh! Ikan-ikan senang sekali,” seru Satria sambil melompat, diikuti Delia Putri dan Rafan.

“Betul, Nak. Alam ini memberi kita banyak pelajaran. Lihat, air hujan menjaga sawah dan kolam tetap hidup,” jawab Pak Guru Mahdi.

Abah Edod mengajak anak-anak menanam bibit padi di tanah basah. “Ingat, anak-anak, kita harus sabar dan telaten. Alam tidak terburu-buru, begitu pula kita,” ucapnya.

Di kolam bawal, Mang Jajang Taryana menjelaskan, “Air jernih dan oksigen cukup membuat ikan tumbuh sehat. Kalau kalian mau sukses, pelajari alam sebelum memulai usaha.”

Suasana belajar berpadu dengan bermain: menanam, memberi makan ikan, dan menjaga kebersihan lingkungan. Suara tawa mereka berpadu dengan gemericik air, menciptakan harmoni alami.

Musim Kemarau dan Gotong Royong

Saat kemarau tiba, anak-anak belajar mengelola air untuk sawah dan kolam. Abah Edod mengajari menutup saluran irigasi, menabung air hujan, dan memindahkan ikan ke kolam yang lebih kecil agar tetap aman.

“Lihat Nak, air tidak boleh diboroskan. Alam memberi pelajaran tentang hemat dan tanggung jawab,” ujar Abah Edod.

Pak Guru Mahdi juga mengajarkan anak-anak menulis cerita pengalaman di kampung, membaca buku, dan mencatat hal-hal menarik. Gotong-royong menjadi bagian keseharian: membersihkan kolam, menyiapkan Rumah Pintar, dan merawat kebun bersama warga.

Nilai Pendidikan dan Tradisi

Di Rumah Pintar Al-Barokah, anak-anak belajar membaca, menulis, berkebun, menjaga kolam ikan, serta mengenal budaya Sunda. Pak Guru Mahdi menekankan pendidikan bukan hanya tentang buku, tetapi juga memahami lingkungan dan menghargai orang lain.

Abah Taya selalu hadir memberikan cerita sejarah kampung dan nasihat bijak. “Anak-anak, Batu Karut subur dan damai karena kita saling menghargai. Jagalah alam dan budaya kalian,” katanya.

Mang Jajang Taryana mengajarkan anak-anak tentang usaha dan ketekunan. Mereka belajar bahwa kerja keras, cinta alam, dan kebersamaan adalah kunci hidup yang sukses.

Sore Hari dan Cahaya Warisan Guru Qolbu Een

Saat matahari condong ke barat, sawah memantulkan cahaya jingga lembut, kolam berkilau, dan anak-anak pulang dari Rumah Pintar. Suasana damai menenangkan hati.

“Pak Guru Mahdi, datanglah kapan saja. Batu Karut dan Rumah Pintar selalu menunggu kami yang ingin belajar dan mencintai alam,” kata anak-anak tersenyum.

Abah Edod menepuk pundak Satria, “Kalau kita rajin, kolam ikan dan sawah selalu subur. Anak-anak, ini pelajaran hidup yang tidak akan kalian lupakan.”

Mang Jajang menambahkan, “Ini juga pelajaran, Nak. Kalau dikerjakan dengan tekun, ikan bawal bisa menjadi sumber penghidupan keluarga.”

Abah Taya menutup hari dengan nasihat bijak, “Hidup di Batu Karut berarti hidup berdampingan dengan alam dan orang-orang. Jagalah nilai ini, Nak, agar kampung tetap damai.

Gempar !!! Kode Rahasia Prasasti Kawali Adalah Simbol Dewa Petir

Apakah Zeus dari Yunani, Thor dari Skandinavia, dan Indra dari India — sebenarnya berasal dari satu sosok leluhur yang sama? Ketika kebudayaan India menyebar ke Asia Tenggara, kisah Dewa Indra ikut berlayar dan tiba di Tanah Sunda. Di sinilah mitos besar dunia bertemu kearifan lokal Nusantara.
Prasasti kuno, naskah Sunda, hingga tradisi agraris menunjukkan bahwa masyarakat Sunda mengenal Indra sebagai penguasa langit dan pembawa hujan — simbol kekuatan, keadilan, dan keseimbangan alam.
Simbol simbol dewa petir ini jejak nya masih ada, antara dalam Prasasti Kawali dan Mahkota Binokasih Sumedang.

Narasumber :
Dr Drs Undang Ahmad Darsa, M.hum
Filolog FIB UNPAD

Disclaimer: Video ini diunggah dari sumber aslinya melalui Youtube Channel: Angelick Vaulina

Sosialisasi Website Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU)

Dinas Arsip dan Perpustakaan (DISARPUS) Kabupaten Sumedang bekerjasama dengan Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS) menyelenggarakan kegiatan ”Sosialisasi Penggunaan Website Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU)”, tanggal 22 Oktober 2025. Penyelenggaraan kegiatan ini berkaitan dengan peluncuran website resmi Komunitas PENAKU dengan alamat web: https://komunitaspenaku.id, tanggal 2 Oktober 2025. Website Komunitas PENAKU merupakan media komunikasi partisipatif, khususnya bagi Pengurus dan Anggota Komunitas PENAKU dalam rangka membangun Tata Kelola Naskah Kuno Kolaboratif di Kabupaten Sumedang.

Kegiatan sosialisasi ini merupakan rangkaian dari kegiatan sebelumnya pada 21 Oktober 2025 yang dihadiri oleh beberapa perkawilan Pengurus DKS serta para Pengurus dan Anggota Komunitas PENAKU yang dilaksanakan secara luring di Aula Bidang Perpustakaan, Komplek Pusat Pemerintahan Sumedang (PPS), Kabupaten Sumedang. Sementara itu, pelaksanaan sosialisasi tanggal 22 Oktober 2025 dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting yang dihadiri beberapa pegiat literasi yang tergabung dalam Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) dan perwakilan beberapa guru di Kabupaten Sumedang.

Pemberi materi sosialisasi adalah Kusnandar, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran. Adapun, materi yang disampaikan meliputi sosialisasi fitur-fitur Website Komunitas PENAKU serta pelatihan cara penggunaan website tersebut. Secara mendasar, fitur-fitur Website Komunitas PENAKU terdiri dari dua fitur utama, yaitu Fitur Publik dan Fitur Komunitas.

Fitur Publik pada website Komunitas PENAKU disediakan bagi siapapun yang mengujungi website tersebut untuk mendapatkan informasi yang dikelompokkan dalam beberapa rubrik, yaitu: Berita, Artikel, Naskah Kuno, Tokoh, dan Referensi. Di sisi lain, Fitur Komunitas adalah fitur website yang disediakan khusus bagi pengurus dan anggota Komunitas PENAKU. Agar dapat memanfaatkan fitur ini, pengurus dan anggota Komunitas PENAKU harus terdaftar dalam sistem website dan harus melakukan Log In sebelum menggunakan Fitur Komunitas yang dimaksud. Setelah pengurus dan anggota Komunitas PENAKU masuk ke dalam sistem webiste tersebut, mereka dapat melakukan diskusi bersama melalui Forum Komunikasi dengan berbagai topik diskusi yang telah disediakan.

Pada penutup kegiatan sosialisasi, Kusnandar menyampaikan harapannya, ”Mugia tiasa bermanfaat kanggo urang sadaya, dina raraga nanjeurkeun nilai-nilai Kasumedangan, khususna dina kaelmuan anu nyampak dina Naskah Kuno. Mugia oge, aya daya guna kangge balarea dina ngokolahkeun tutungkusan karuhun”.

Melalui kegiatan ini, Kepala Disarpus Kabupaten Sumedang dan Ketua DKS berharap agar Komunitas PENAKU bisa lebih kreatif dan produktif dalam berkegiatan. Diharapkan dengan adanya Website Komunitas PENAKU, proses komunikasi partisipatif dapat lebih berkualitas sehingga dapat berkontribusi terhadap pengembangan Tata Kelola Naskah Kuno Kolaboratif di Kabupaten Sumedang.

Tak Luput Batu Karut: Dari Kaki Gunung Tampomas, Tumbuh Gagasan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Kabut tipis menyelimuti kaki Gunung Tampomas ketika fajar datang di Dusun Batu Karut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Suara burung berpadu dengan gemericik air sawah, seolah membangunkan kesadaran bahwa kehidupan di sini berjalan dalam irama sederhana — penuh doa, kerja, dan kasih sayang. Batu Karut bukan hanya tempat, tetapi ruang nilai. Ia menjadi saksi bagaimana masyarakatnya menanamkan keimanan dan ilmu pengetahuan dengan tulus, menumbuhkan generasi yang cinta pada tanah kelahirannya.

Puisi yang Tumbuh dari Tanah Kelahiran
Dari suasana inilah lahir puisi berjudul “Tak Luput Batu Karut”, karya Mahdi, seorang pegiat literasi dan pendidikan yang menuliskan refleksinya tentang tanah tempat ia dibesarkan.

“Di sini aku dibesarkan,
Jelang tahun kedua belas,
Sejak rasa cinta dipertemukan,
Dalam seduhan kopi panas.”

Puisi ini bukan sekadar kenangan, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai pendidikan, religiusitas, dan kasih sayang yang berakar kuat di Batu Karut. Lewat kata-katanya, Mahdi menghidupkan kembali semangat masyarakat yang memaknai pendidikan bukan sekadar ruang belajar, tetapi jalan pengabdian.

Wa Een dan Bapak Presiden: Jejak Kasih dalam Pembangunan
Bagian lain dari puisi itu juga merekam penghormatan kepada dua tokoh penting: Wa Een Sukaesih almarhumah, guru pejuang asal Batu Karut, dan Bapak Presiden, yang berjasa mendukung pembangunan dan pendidikan di wilayah tersebut.

“Wa Een dan Bapak Presiden,
Jasa-jasamu tak terlupakan,
Membangun Batu Karut,
Menjunjung Batu Karut.”

Wa Een dikenal dengan pesan moral yang sederhana namun dalam: “Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.” Pesan itu kemudian menjadi filosofi yang menjiwai perjalanan lembaga-lembaga pendidikan di Batu Karut hingga kini.

Tiga Lembaga, Satu Semangat
Dari semangat itu, lahirlah sejumlah lembaga yang menjadi pusat pembelajaran di kaki Gunung Tampomas:

  1. Kober Al-Barokah, sebagai ruang awal tumbuhnya karakter anak-anak usia dini dengan nilai religius dan sosial.
  2. RA Taman Cendikia, lembaga pendidikan anak usia dini yang menanamkan dasar kecerdasan dan kreativitas dengan pendekatan kasih sayang.
  3. LPK Prestatif, lembaga pelatihan keterampilan yang mendorong pemuda untuk mandiri dan berdaya saing, membawa semangat belajar sepanjang hayat.

Ketiganya berdiri di bawah naungan nilai yang sama — pendidikan yang berakar dari cinta, dikelola dengan kebersamaan masyarakat, dan diarahkan untuk kemajuan generasi Batu Karut.


Batu yang Mengerut, Tapi Tak Pernah Luput
Dalam puisinya, Mahdi menulis:

“Batu Karut adalah batu yang mengerut,
Tak pernah luput dari bentukmu,
Di Batu Karut ada ucapan Wa Een,
Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.”

Simbol “batu yang mengerut” mengandung makna keteguhan dan keabadian. Batu Karut menjadi metafora bagi kekuatan masyarakatnya — mungkin kecil, tapi kokoh dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di tengah perubahan zaman.

Pendidikan yang Mengakar di Kaki Gunung Tampomas
Di dusun yang dikelilingi sawah dan pepohonan ini, pendidikan bukan hanya kegiatan formal di ruang kelas, tetapi cara hidup. Anak-anak belajar membaca di serambi masjid, para ibu mengajarkan doa di sela menanak nasi, dan para ayah menanam nilai kerja keras di ladang mereka. Masjid Al-Barokah, Rumah Pintar Al-Barokah, DTA Nurul Iman, hingga LPK Prestatif dan RA Taman Cendikia — semuanya menjadi simpul dari cita-cita yang sama: membangun manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.

Menanam Kasih, Menumbuhkan Peradaban
Batu Karut mengajarkan bahwa pendidikan tidak lahir dari kemewahan, tetapi dari keikhlasan. Dari tempat sederhana di kaki Gunung Tampomas ini, tumbuh gagasan besar: bahwa kasih sayang adalah fondasi sejati dalam mendidik manusia. Pesan itu diabadikan Mahdi dalam puisinya, dan terus dihidupkan oleh para guru, santri, dan warga Batu Karut — sebagai warisan nilai yang tak lekang oleh waktu.

Penutup
Puisi “Tak Luput Batu Karut” bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen kultural yang merekam sejarah pendidikan berbasis kasih sayang di kaki Gunung Tampomas. Melalui karya dan keteladanan, Mahdi dan masyarakat Batu Karut menunjukkan bahwa cinta kepada tempat kelahiran dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk membangun peradaban. Dari batu yang mengerut, lahir jiwa yang lembut. Dari kasih yang ditanam, tumbuh generasi yang berilmu dan beriman.