
Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang
Dusun Batu Karut RT 01 RW 06, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
Kabut tipis menyelimuti Dusun Batu Karut di pagi hari. Embun menempel di daun-daun hijau, sawah memantulkan cahaya mentari pagi seperti permadani hijau keemasan, sementara kolam ikan memantulkan sinar hangat dari balik lereng Gunung Tampomas. Aroma tanah basah bercampur wangi pepohonan menciptakan udara segar yang menenangkan jiwa.
Di tengah suasana damai itu, terdengar suara riang anak-anak yang memenuhi halaman Rumah Pintar Al-Barokah, warisan luhur dari Guru Qolbu Een Sukaesih almarhumah. Di sinilah generasi muda Batu Karut belajar, bermain, dan menemukan cahaya pengetahuan yang diwariskan oleh sang guru.
Pak Guru Mahdi, pengelola Rumah Pintar sekaligus guru literasi yang aktif berinteraksi dengan warga, menyapa anak-anak sambil menyiapkan buku dan alat tulis.
“Selamat pagi, Satria, Rafan, Delia Putri, Tantan, Rangga, Shidiq, Nofal, Farhan,” sapa Pak Guru Mahdi hangat. “Hari ini kita belajar sambil mengenal alam sekitar kampung.”
Di dekat kolam, Abah Edod sedang memeriksa ikan dan menjelaskan cara memberi pakan. “Nak, kalau kita merawat kolam dengan tekun, ikan akan sehat. Sama seperti menanam padi,” ujarnya sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Pak Edod!” seru anak-anak serentak.
“Selamat pagi, Nak! Hari ini kita belajar menjaga kolam dan sawah sekaligus,” jawab Abah Edod.
Tak jauh dari situ, Mang Jajang Taryana, juragan ikan bawal, memberi pakan pada kolam bawalnya yang besar. “Pagi, Pak Jajang!” sapa Abah Edod.
“Pagi, Pak Edod! Anak-anak ingin lihat ikan bawal kan? Hari ini kita tunjukkan cara merawat ikan biar sehat dan gemuk,” jawab Mang Jajang sambil tersenyum.
Sementara itu, anak-anak di halaman Rumah Pintar menanam sayuran di polybag. Mereka menghitung bibit, menulis nama tanaman, dan saling membantu. Pak Guru Mahdi membimbing mereka dengan sabar, menjelaskan pentingnya menjaga tanaman agar tetap subur dan ramah lingkungan.
“Rumah Pintar ini penting bagi Batu Karut,” kata Abah Taya, tokoh tua kampung, sambil menepuk pundak Satria. “Selain membaca dan menulis, anak-anak belajar mencintai alam—air, sawah, dan ikan. Semua bagian dari kehidupan.”
Di bangku bambu tepi kolam, Pak Guru Mahdi menikmati suara cicit burung, gemericik air, dan tawa anak-anak yang berpadu harmonis. Mang Nanang menyeduh kopi hangat untuk tetangga yang datang dari sawah, sambil tersenyum melihat anak-anak belajar.
Sore Hari di Rumah Pintar: Delia Putri dan Teman-Temannya
Sore itu, sinar matahari menembus sela-sela pepohonan, menyinari halaman Rumah Pintar. Delia Putri, salah satu murid, duduk di bawah pohon kecil sambil membaca buku cerita bergambar dan mencatat hal-hal menarik di buku catatannya.
“Di sini, saya merasa bebas belajar dan mencoba hal baru,” kata Delia sambil tersenyum malu-malu.
Teman-temannya—Sinta, Tantri, Euis, Wina, Febriani, Tiara Rizki, Cindy, Candra, Teguh, Upit, Ega, Eni, dan Haris—bergabung dengannya. Mereka belajar, bermain, dan mengeksplorasi kreativitas bersama. Rumah Pintar Al-Barokah bukan sekadar tempat membaca dan menulis; di sini anak-anak belajar persahabatan, gotong royong, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Percakapan mereka penuh canda dan tawa:
Delia: “Eh, teman-teman, kalian lihat ini gambar naga di bukuku? Seru banget kan?”
Sinta: “Wah, keren! Aku suka warna merahnya, Delia!”
Tantri: “Aku juga pengen punya buku cerita kayak gitu. Bisa minta pinjam nggak, Delia?”
Delia: “Boleh banget. Nanti habis baca, kita tukar-tukaran cerita ya.”
Euis: “Aku tadi bikin poster tentang gotong royong. Mau aku tunjukkan?”
Wina: “Ayo, Euis! Aku penasaran hasilnya.”
Febriani: “Bagus banget, Euis! Warna-warnanya ceria banget.”
Tiara Rizki: “Beneran deh, kalau semua poster digantung di sini, Rumah Pintar Al-Barokah bakal makin ramai.”
Cindy: “Setelah ini kita bisa menanam tanaman juga, kan? Aku mau tanam bunga.”
Candra: “Aku mau bantu bikin papan nama untuk bunga-bunga itu!”
Teguh: “Aku sama Upit mau bersihin halaman biar tempat belajar kita makin nyaman.”
Upit: “Setuju, ayo kita mulai sekarang!”
Ega: “Delia, nanti kita bikin cerita bareng ya. Aku mau jadi tokoh utama!”
Eni: “Aku bisa jadi ilustratornya!”
Haris: “Aku bantu bikin latar belakang ceritanya. Biar ceritanya lengkap.”
Delia: “Asik banget! Kalau gitu, sore ini kita bikin cerita bareng dan setelahnya bisa baca buku lagi. Rumah Pintar Al-Barokah memang tempat paling seru!”
Pak Guru Mahdi menjelaskan, “Ibu Qolbu Een ingin setiap anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki hati yang lembut dan karakter yang kuat. Rumah Pintar ini adalah warisan beliau yang hidup setiap hari melalui anak-anak dan warga sekitar.”
Kegiatan di Rumah Pintar berlangsung beragam: membaca buku, menulis kreatif, membuat kerajinan tangan, hingga kegiatan seni dan budaya lokal. Anak-anak juga dilibatkan dalam menanam tanaman, membuat poster, dan kegiatan gotong royong, menanamkan nilai kepedulian dan kerja sama.
Belajar di Alam dan Musim Hujan
Beberapa minggu kemudian, hujan turun membasahi atap bambu Rumah Pintar dan sawah di sekitarnya. Suara gemericik air menyatu dengan tawa anak-anak yang bermain di sawah dan tepi kolam.
“Pak Guru Mahdi, air sawah penuh! Ikan-ikan senang sekali,” seru Satria sambil melompat, diikuti Delia Putri dan Rafan.
“Betul, Nak. Alam ini memberi kita banyak pelajaran. Lihat, air hujan menjaga sawah dan kolam tetap hidup,” jawab Pak Guru Mahdi.
Abah Edod mengajak anak-anak menanam bibit padi di tanah basah. “Ingat, anak-anak, kita harus sabar dan telaten. Alam tidak terburu-buru, begitu pula kita,” ucapnya.
Di kolam bawal, Mang Jajang Taryana menjelaskan, “Air jernih dan oksigen cukup membuat ikan tumbuh sehat. Kalau kalian mau sukses, pelajari alam sebelum memulai usaha.”
Suasana belajar berpadu dengan bermain: menanam, memberi makan ikan, dan menjaga kebersihan lingkungan. Suara tawa mereka berpadu dengan gemericik air, menciptakan harmoni alami.
Musim Kemarau dan Gotong Royong
Saat kemarau tiba, anak-anak belajar mengelola air untuk sawah dan kolam. Abah Edod mengajari menutup saluran irigasi, menabung air hujan, dan memindahkan ikan ke kolam yang lebih kecil agar tetap aman.
“Lihat Nak, air tidak boleh diboroskan. Alam memberi pelajaran tentang hemat dan tanggung jawab,” ujar Abah Edod.
Pak Guru Mahdi juga mengajarkan anak-anak menulis cerita pengalaman di kampung, membaca buku, dan mencatat hal-hal menarik. Gotong-royong menjadi bagian keseharian: membersihkan kolam, menyiapkan Rumah Pintar, dan merawat kebun bersama warga.
Nilai Pendidikan dan Tradisi
Di Rumah Pintar Al-Barokah, anak-anak belajar membaca, menulis, berkebun, menjaga kolam ikan, serta mengenal budaya Sunda. Pak Guru Mahdi menekankan pendidikan bukan hanya tentang buku, tetapi juga memahami lingkungan dan menghargai orang lain.
Abah Taya selalu hadir memberikan cerita sejarah kampung dan nasihat bijak. “Anak-anak, Batu Karut subur dan damai karena kita saling menghargai. Jagalah alam dan budaya kalian,” katanya.
Mang Jajang Taryana mengajarkan anak-anak tentang usaha dan ketekunan. Mereka belajar bahwa kerja keras, cinta alam, dan kebersamaan adalah kunci hidup yang sukses.
Sore Hari dan Cahaya Warisan Guru Qolbu Een
Saat matahari condong ke barat, sawah memantulkan cahaya jingga lembut, kolam berkilau, dan anak-anak pulang dari Rumah Pintar. Suasana damai menenangkan hati.
“Pak Guru Mahdi, datanglah kapan saja. Batu Karut dan Rumah Pintar selalu menunggu kami yang ingin belajar dan mencintai alam,” kata anak-anak tersenyum.
Abah Edod menepuk pundak Satria, “Kalau kita rajin, kolam ikan dan sawah selalu subur. Anak-anak, ini pelajaran hidup yang tidak akan kalian lupakan.”
Mang Jajang menambahkan, “Ini juga pelajaran, Nak. Kalau dikerjakan dengan tekun, ikan bawal bisa menjadi sumber penghidupan keluarga.”
Abah Taya menutup hari dengan nasihat bijak, “Hidup di Batu Karut berarti hidup berdampingan dengan alam dan orang-orang. Jagalah nilai ini, Nak, agar kampung tetap damai.



