Rumah Pintar Al-Barokah: Warisan Luhur Guru Qolbu Een Sukaesih di Batu Karut

Rumah Pintar Al-Barokah: Warisan Luhur Guru Qolbu Een Sukaesih di Batu Karut

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Dusun Batu Karut RT 01 RW 06, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat

Kabut tipis menyelimuti Dusun Batu Karut di pagi hari. Embun menempel di daun-daun hijau, sawah memantulkan cahaya mentari pagi seperti permadani hijau keemasan, sementara kolam ikan memantulkan sinar hangat dari balik lereng Gunung Tampomas. Aroma tanah basah bercampur wangi pepohonan menciptakan udara segar yang menenangkan jiwa.

Di tengah suasana damai itu, terdengar suara riang anak-anak yang memenuhi halaman Rumah Pintar Al-Barokah, warisan luhur dari Guru Qolbu Een Sukaesih almarhumah. Di sinilah generasi muda Batu Karut belajar, bermain, dan menemukan cahaya pengetahuan yang diwariskan oleh sang guru.

Pak Guru Mahdi, pengelola Rumah Pintar sekaligus guru literasi yang aktif berinteraksi dengan warga, menyapa anak-anak sambil menyiapkan buku dan alat tulis.

“Selamat pagi, Satria, Rafan, Delia Putri, Tantan, Rangga, Shidiq, Nofal, Farhan,” sapa Pak Guru Mahdi hangat. “Hari ini kita belajar sambil mengenal alam sekitar kampung.”

Di dekat kolam, Abah Edod sedang memeriksa ikan dan menjelaskan cara memberi pakan. “Nak, kalau kita merawat kolam dengan tekun, ikan akan sehat. Sama seperti menanam padi,” ujarnya sambil tersenyum.

“Selamat pagi, Pak Edod!” seru anak-anak serentak.

“Selamat pagi, Nak! Hari ini kita belajar menjaga kolam dan sawah sekaligus,” jawab Abah Edod.

Tak jauh dari situ, Mang Jajang Taryana, juragan ikan bawal, memberi pakan pada kolam bawalnya yang besar. “Pagi, Pak Jajang!” sapa Abah Edod.

“Pagi, Pak Edod! Anak-anak ingin lihat ikan bawal kan? Hari ini kita tunjukkan cara merawat ikan biar sehat dan gemuk,” jawab Mang Jajang sambil tersenyum.

Sementara itu, anak-anak di halaman Rumah Pintar menanam sayuran di polybag. Mereka menghitung bibit, menulis nama tanaman, dan saling membantu. Pak Guru Mahdi membimbing mereka dengan sabar, menjelaskan pentingnya menjaga tanaman agar tetap subur dan ramah lingkungan.

“Rumah Pintar ini penting bagi Batu Karut,” kata Abah Taya, tokoh tua kampung, sambil menepuk pundak Satria. “Selain membaca dan menulis, anak-anak belajar mencintai alam—air, sawah, dan ikan. Semua bagian dari kehidupan.”

Di bangku bambu tepi kolam, Pak Guru Mahdi menikmati suara cicit burung, gemericik air, dan tawa anak-anak yang berpadu harmonis. Mang Nanang menyeduh kopi hangat untuk tetangga yang datang dari sawah, sambil tersenyum melihat anak-anak belajar.

Sore Hari di Rumah Pintar: Delia Putri dan Teman-Temannya

Sore itu, sinar matahari menembus sela-sela pepohonan, menyinari halaman Rumah Pintar. Delia Putri, salah satu murid, duduk di bawah pohon kecil sambil membaca buku cerita bergambar dan mencatat hal-hal menarik di buku catatannya.

“Di sini, saya merasa bebas belajar dan mencoba hal baru,” kata Delia sambil tersenyum malu-malu.

Teman-temannya—Sinta, Tantri, Euis, Wina, Febriani, Tiara Rizki, Cindy, Candra, Teguh, Upit, Ega, Eni, dan Haris—bergabung dengannya. Mereka belajar, bermain, dan mengeksplorasi kreativitas bersama. Rumah Pintar Al-Barokah bukan sekadar tempat membaca dan menulis; di sini anak-anak belajar persahabatan, gotong royong, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Percakapan mereka penuh canda dan tawa:

Delia: “Eh, teman-teman, kalian lihat ini gambar naga di bukuku? Seru banget kan?”

Sinta: “Wah, keren! Aku suka warna merahnya, Delia!”

Tantri: “Aku juga pengen punya buku cerita kayak gitu. Bisa minta pinjam nggak, Delia?”

Delia: “Boleh banget. Nanti habis baca, kita tukar-tukaran cerita ya.”

Euis: “Aku tadi bikin poster tentang gotong royong. Mau aku tunjukkan?”

Wina: “Ayo, Euis! Aku penasaran hasilnya.”

Febriani: “Bagus banget, Euis! Warna-warnanya ceria banget.”

Tiara Rizki: “Beneran deh, kalau semua poster digantung di sini, Rumah Pintar Al-Barokah bakal makin ramai.”

Cindy: “Setelah ini kita bisa menanam tanaman juga, kan? Aku mau tanam bunga.”

Candra: “Aku mau bantu bikin papan nama untuk bunga-bunga itu!”

Teguh: “Aku sama Upit mau bersihin halaman biar tempat belajar kita makin nyaman.”

Upit: “Setuju, ayo kita mulai sekarang!”

Ega: “Delia, nanti kita bikin cerita bareng ya. Aku mau jadi tokoh utama!”

Eni: “Aku bisa jadi ilustratornya!”

Haris: “Aku bantu bikin latar belakang ceritanya. Biar ceritanya lengkap.”

Delia: “Asik banget! Kalau gitu, sore ini kita bikin cerita bareng dan setelahnya bisa baca buku lagi. Rumah Pintar Al-Barokah memang tempat paling seru!”

Pak Guru Mahdi menjelaskan, “Ibu Qolbu Een ingin setiap anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki hati yang lembut dan karakter yang kuat. Rumah Pintar ini adalah warisan beliau yang hidup setiap hari melalui anak-anak dan warga sekitar.”

Kegiatan di Rumah Pintar berlangsung beragam: membaca buku, menulis kreatif, membuat kerajinan tangan, hingga kegiatan seni dan budaya lokal. Anak-anak juga dilibatkan dalam menanam tanaman, membuat poster, dan kegiatan gotong royong, menanamkan nilai kepedulian dan kerja sama.

Belajar di Alam dan Musim Hujan

Beberapa minggu kemudian, hujan turun membasahi atap bambu Rumah Pintar dan sawah di sekitarnya. Suara gemericik air menyatu dengan tawa anak-anak yang bermain di sawah dan tepi kolam.

“Pak Guru Mahdi, air sawah penuh! Ikan-ikan senang sekali,” seru Satria sambil melompat, diikuti Delia Putri dan Rafan.

“Betul, Nak. Alam ini memberi kita banyak pelajaran. Lihat, air hujan menjaga sawah dan kolam tetap hidup,” jawab Pak Guru Mahdi.

Abah Edod mengajak anak-anak menanam bibit padi di tanah basah. “Ingat, anak-anak, kita harus sabar dan telaten. Alam tidak terburu-buru, begitu pula kita,” ucapnya.

Di kolam bawal, Mang Jajang Taryana menjelaskan, “Air jernih dan oksigen cukup membuat ikan tumbuh sehat. Kalau kalian mau sukses, pelajari alam sebelum memulai usaha.”

Suasana belajar berpadu dengan bermain: menanam, memberi makan ikan, dan menjaga kebersihan lingkungan. Suara tawa mereka berpadu dengan gemericik air, menciptakan harmoni alami.

Musim Kemarau dan Gotong Royong

Saat kemarau tiba, anak-anak belajar mengelola air untuk sawah dan kolam. Abah Edod mengajari menutup saluran irigasi, menabung air hujan, dan memindahkan ikan ke kolam yang lebih kecil agar tetap aman.

“Lihat Nak, air tidak boleh diboroskan. Alam memberi pelajaran tentang hemat dan tanggung jawab,” ujar Abah Edod.

Pak Guru Mahdi juga mengajarkan anak-anak menulis cerita pengalaman di kampung, membaca buku, dan mencatat hal-hal menarik. Gotong-royong menjadi bagian keseharian: membersihkan kolam, menyiapkan Rumah Pintar, dan merawat kebun bersama warga.

Nilai Pendidikan dan Tradisi

Di Rumah Pintar Al-Barokah, anak-anak belajar membaca, menulis, berkebun, menjaga kolam ikan, serta mengenal budaya Sunda. Pak Guru Mahdi menekankan pendidikan bukan hanya tentang buku, tetapi juga memahami lingkungan dan menghargai orang lain.

Abah Taya selalu hadir memberikan cerita sejarah kampung dan nasihat bijak. “Anak-anak, Batu Karut subur dan damai karena kita saling menghargai. Jagalah alam dan budaya kalian,” katanya.

Mang Jajang Taryana mengajarkan anak-anak tentang usaha dan ketekunan. Mereka belajar bahwa kerja keras, cinta alam, dan kebersamaan adalah kunci hidup yang sukses.

Sore Hari dan Cahaya Warisan Guru Qolbu Een

Saat matahari condong ke barat, sawah memantulkan cahaya jingga lembut, kolam berkilau, dan anak-anak pulang dari Rumah Pintar. Suasana damai menenangkan hati.

“Pak Guru Mahdi, datanglah kapan saja. Batu Karut dan Rumah Pintar selalu menunggu kami yang ingin belajar dan mencintai alam,” kata anak-anak tersenyum.

Abah Edod menepuk pundak Satria, “Kalau kita rajin, kolam ikan dan sawah selalu subur. Anak-anak, ini pelajaran hidup yang tidak akan kalian lupakan.”

Mang Jajang menambahkan, “Ini juga pelajaran, Nak. Kalau dikerjakan dengan tekun, ikan bawal bisa menjadi sumber penghidupan keluarga.”

Abah Taya menutup hari dengan nasihat bijak, “Hidup di Batu Karut berarti hidup berdampingan dengan alam dan orang-orang. Jagalah nilai ini, Nak, agar kampung tetap damai.

Gempar !!! Kode Rahasia Prasasti Kawali Adalah Simbol Dewa Petir

Apakah Zeus dari Yunani, Thor dari Skandinavia, dan Indra dari India — sebenarnya berasal dari satu sosok leluhur yang sama? Ketika kebudayaan India menyebar ke Asia Tenggara, kisah Dewa Indra ikut berlayar dan tiba di Tanah Sunda. Di sinilah mitos besar dunia bertemu kearifan lokal Nusantara.
Prasasti kuno, naskah Sunda, hingga tradisi agraris menunjukkan bahwa masyarakat Sunda mengenal Indra sebagai penguasa langit dan pembawa hujan — simbol kekuatan, keadilan, dan keseimbangan alam.
Simbol simbol dewa petir ini jejak nya masih ada, antara dalam Prasasti Kawali dan Mahkota Binokasih Sumedang.

Narasumber :
Dr Drs Undang Ahmad Darsa, M.hum
Filolog FIB UNPAD

Disclaimer: Video ini diunggah dari sumber aslinya melalui Youtube Channel: Angelick Vaulina

Sosialisasi Website Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU)

Dinas Arsip dan Perpustakaan (DISARPUS) Kabupaten Sumedang bekerjasama dengan Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS) menyelenggarakan kegiatan ”Sosialisasi Penggunaan Website Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU)”, tanggal 22 Oktober 2025. Penyelenggaraan kegiatan ini berkaitan dengan peluncuran website resmi Komunitas PENAKU dengan alamat web: https://komunitaspenaku.id, tanggal 2 Oktober 2025. Website Komunitas PENAKU merupakan media komunikasi partisipatif, khususnya bagi Pengurus dan Anggota Komunitas PENAKU dalam rangka membangun Tata Kelola Naskah Kuno Kolaboratif di Kabupaten Sumedang.

Kegiatan sosialisasi ini merupakan rangkaian dari kegiatan sebelumnya pada 21 Oktober 2025 yang dihadiri oleh beberapa perkawilan Pengurus DKS serta para Pengurus dan Anggota Komunitas PENAKU yang dilaksanakan secara luring di Aula Bidang Perpustakaan, Komplek Pusat Pemerintahan Sumedang (PPS), Kabupaten Sumedang. Sementara itu, pelaksanaan sosialisasi tanggal 22 Oktober 2025 dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting yang dihadiri beberapa pegiat literasi yang tergabung dalam Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) dan perwakilan beberapa guru di Kabupaten Sumedang.

Pemberi materi sosialisasi adalah Kusnandar, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran. Adapun, materi yang disampaikan meliputi sosialisasi fitur-fitur Website Komunitas PENAKU serta pelatihan cara penggunaan website tersebut. Secara mendasar, fitur-fitur Website Komunitas PENAKU terdiri dari dua fitur utama, yaitu Fitur Publik dan Fitur Komunitas.

Fitur Publik pada website Komunitas PENAKU disediakan bagi siapapun yang mengujungi website tersebut untuk mendapatkan informasi yang dikelompokkan dalam beberapa rubrik, yaitu: Berita, Artikel, Naskah Kuno, Tokoh, dan Referensi. Di sisi lain, Fitur Komunitas adalah fitur website yang disediakan khusus bagi pengurus dan anggota Komunitas PENAKU. Agar dapat memanfaatkan fitur ini, pengurus dan anggota Komunitas PENAKU harus terdaftar dalam sistem website dan harus melakukan Log In sebelum menggunakan Fitur Komunitas yang dimaksud. Setelah pengurus dan anggota Komunitas PENAKU masuk ke dalam sistem webiste tersebut, mereka dapat melakukan diskusi bersama melalui Forum Komunikasi dengan berbagai topik diskusi yang telah disediakan.

Pada penutup kegiatan sosialisasi, Kusnandar menyampaikan harapannya, ”Mugia tiasa bermanfaat kanggo urang sadaya, dina raraga nanjeurkeun nilai-nilai Kasumedangan, khususna dina kaelmuan anu nyampak dina Naskah Kuno. Mugia oge, aya daya guna kangge balarea dina ngokolahkeun tutungkusan karuhun”.

Melalui kegiatan ini, Kepala Disarpus Kabupaten Sumedang dan Ketua DKS berharap agar Komunitas PENAKU bisa lebih kreatif dan produktif dalam berkegiatan. Diharapkan dengan adanya Website Komunitas PENAKU, proses komunikasi partisipatif dapat lebih berkualitas sehingga dapat berkontribusi terhadap pengembangan Tata Kelola Naskah Kuno Kolaboratif di Kabupaten Sumedang.

Tak Luput Batu Karut: Dari Kaki Gunung Tampomas, Tumbuh Gagasan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Kabut tipis menyelimuti kaki Gunung Tampomas ketika fajar datang di Dusun Batu Karut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Suara burung berpadu dengan gemericik air sawah, seolah membangunkan kesadaran bahwa kehidupan di sini berjalan dalam irama sederhana — penuh doa, kerja, dan kasih sayang. Batu Karut bukan hanya tempat, tetapi ruang nilai. Ia menjadi saksi bagaimana masyarakatnya menanamkan keimanan dan ilmu pengetahuan dengan tulus, menumbuhkan generasi yang cinta pada tanah kelahirannya.

Puisi yang Tumbuh dari Tanah Kelahiran
Dari suasana inilah lahir puisi berjudul “Tak Luput Batu Karut”, karya Mahdi, seorang pegiat literasi dan pendidikan yang menuliskan refleksinya tentang tanah tempat ia dibesarkan.

“Di sini aku dibesarkan,
Jelang tahun kedua belas,
Sejak rasa cinta dipertemukan,
Dalam seduhan kopi panas.”

Puisi ini bukan sekadar kenangan, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai pendidikan, religiusitas, dan kasih sayang yang berakar kuat di Batu Karut. Lewat kata-katanya, Mahdi menghidupkan kembali semangat masyarakat yang memaknai pendidikan bukan sekadar ruang belajar, tetapi jalan pengabdian.

Wa Een dan Bapak Presiden: Jejak Kasih dalam Pembangunan
Bagian lain dari puisi itu juga merekam penghormatan kepada dua tokoh penting: Wa Een Sukaesih almarhumah, guru pejuang asal Batu Karut, dan Bapak Presiden, yang berjasa mendukung pembangunan dan pendidikan di wilayah tersebut.

“Wa Een dan Bapak Presiden,
Jasa-jasamu tak terlupakan,
Membangun Batu Karut,
Menjunjung Batu Karut.”

Wa Een dikenal dengan pesan moral yang sederhana namun dalam: “Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.” Pesan itu kemudian menjadi filosofi yang menjiwai perjalanan lembaga-lembaga pendidikan di Batu Karut hingga kini.

Tiga Lembaga, Satu Semangat
Dari semangat itu, lahirlah sejumlah lembaga yang menjadi pusat pembelajaran di kaki Gunung Tampomas:

  1. Kober Al-Barokah, sebagai ruang awal tumbuhnya karakter anak-anak usia dini dengan nilai religius dan sosial.
  2. RA Taman Cendikia, lembaga pendidikan anak usia dini yang menanamkan dasar kecerdasan dan kreativitas dengan pendekatan kasih sayang.
  3. LPK Prestatif, lembaga pelatihan keterampilan yang mendorong pemuda untuk mandiri dan berdaya saing, membawa semangat belajar sepanjang hayat.

Ketiganya berdiri di bawah naungan nilai yang sama — pendidikan yang berakar dari cinta, dikelola dengan kebersamaan masyarakat, dan diarahkan untuk kemajuan generasi Batu Karut.


Batu yang Mengerut, Tapi Tak Pernah Luput
Dalam puisinya, Mahdi menulis:

“Batu Karut adalah batu yang mengerut,
Tak pernah luput dari bentukmu,
Di Batu Karut ada ucapan Wa Een,
Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.”

Simbol “batu yang mengerut” mengandung makna keteguhan dan keabadian. Batu Karut menjadi metafora bagi kekuatan masyarakatnya — mungkin kecil, tapi kokoh dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di tengah perubahan zaman.

Pendidikan yang Mengakar di Kaki Gunung Tampomas
Di dusun yang dikelilingi sawah dan pepohonan ini, pendidikan bukan hanya kegiatan formal di ruang kelas, tetapi cara hidup. Anak-anak belajar membaca di serambi masjid, para ibu mengajarkan doa di sela menanak nasi, dan para ayah menanam nilai kerja keras di ladang mereka. Masjid Al-Barokah, Rumah Pintar Al-Barokah, DTA Nurul Iman, hingga LPK Prestatif dan RA Taman Cendikia — semuanya menjadi simpul dari cita-cita yang sama: membangun manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.

Menanam Kasih, Menumbuhkan Peradaban
Batu Karut mengajarkan bahwa pendidikan tidak lahir dari kemewahan, tetapi dari keikhlasan. Dari tempat sederhana di kaki Gunung Tampomas ini, tumbuh gagasan besar: bahwa kasih sayang adalah fondasi sejati dalam mendidik manusia. Pesan itu diabadikan Mahdi dalam puisinya, dan terus dihidupkan oleh para guru, santri, dan warga Batu Karut — sebagai warisan nilai yang tak lekang oleh waktu.

Penutup
Puisi “Tak Luput Batu Karut” bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen kultural yang merekam sejarah pendidikan berbasis kasih sayang di kaki Gunung Tampomas. Melalui karya dan keteladanan, Mahdi dan masyarakat Batu Karut menunjukkan bahwa cinta kepada tempat kelahiran dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk membangun peradaban. Dari batu yang mengerut, lahir jiwa yang lembut. Dari kasih yang ditanam, tumbuh generasi yang berilmu dan beriman.

Ki Darsum, Pawang Ular Batu Karut : Dikenal sebagai Ki Kebo Kenongo

Foto: Ki Darsum Diva Atmaya (Ki Kebo Kenongo) saat memperlihatkan salah satu jenis ular jinak di sekitar Batu Karut, Cibeureum Wetan.

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Cimalaka, Sumedang (22 Oktober 2025) — Sosok Ki Darsum Diva Atmaya, yang lebih dikenal dengan nama Ki Kebo Kenongo, merupakan salah satu pawang ular legendaris asal Dusun Batu Karut RT 01 RW 05, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang.

Pria yang kini berusia sekitar 70 tahun ini telah menekuni dunia kepawang-an sejak masih kecil. Ia mengaku mulai mengenal ular sejak usia tujuh tahun dan hingga kini tetap aktif membantu masyarakat ketika menghadapi situasi berbahaya yang melibatkan hewan melata tersebut.

“Ular itu bukan musuh manusia. Ia punya tempat dan tugasnya sendiri dalam menjaga keseimbangan alam. Kita hanya perlu memahami dan menghormatinya,” ujar Ki Darsum dengan nada tenang saat ditemui di kediamannya.

Dengan pengalaman selama lebih dari enam dekade, Ki Darsum dikenal mampu menangani berbagai jenis ular tanpa menggunakan kekerasan. Metodenya lebih menekankan pada pendekatan alami dan pemahaman perilaku hewan.

Selain berperan sebagai pawang, Ki Darsum juga dikenal sebagai penjaga kearifan lokal yang kerap memberikan nasihat kepada warga untuk hidup selaras dengan alam. Ia menekankan pentingnya tidak membunuh hewan liar sembarangan dan menjaga lingkungan sekitar.

Kepala Dusun 2 Batu Karut, Nedi, mengungkapkan kebanggaannya terhadap sosok Ki Darsum.

“Beliau bukan hanya pawang ular, tapi juga pelestari nilai-nilai budaya dan pengetahuan tradisional. Banyak warga yang menjadikan beliau panutan dalam memahami alam,” tutur Nedi.

Dengan kesederhanaan dan ketekunannya, Ki Darsum Diva Atmaya alias Ki Kebo Kenongo menjadi simbol kearifan lokal yang terus hidup di tengah masyarakat Cibeureum Wetan, menjaga warisan pengetahuan alam agar tidak hilang ditelan zaman.

Disarpus Sumedang Gelar Pelatihan Website: Dorong Literasi Digital dan Dokumentasi Budaya Lokal Sumedang

Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (Disarpus) Kabupaten Sumedang menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Penggunaan Website KomunitasPenaku.id di Gedung Perpustakaan Pusat Pemerintahan Kabupaten Sumedang, Selasa (21/10/2025).

Pelatihan yang dimulai pukul 09.00 WIB ini diikuti oleh para pegiat literasi, perwakilan lembaga pendidikan, komunitas literasi, serta unsur kebudayaan dari berbagai wilayah di Kabupaten Sumedang. Kegiatan tersebut bertujuan memperkuat kemampuan peserta dalam mengelola platform digital sebagai sarana publikasi dan jejaring antar komunitas literasi.

Diawal acara, Kepala Disarpus Kabupaten Sumedang, Hari Tri Santosa, AP., MM, mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta yang telah berkenan hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

“Kami mengapresiasi kehadiran Bapak dan Ibu semua. Kegiatan ini merupakan upaya bersama memperkuat budaya literasi berbasis digital di Kabupaten Sumedang. Melalui KomunitasPenaku.id, kita ingin menghadirkan ruang kolaborasi dan publikasi bagi komunitas dan lembaga literasi,” ujarnya.

Sebagai narasumber, hadir Kusnandar, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran. Dalam pemaparannya, Kusnandar menekankan pentingnya literasi digital bagi komunitas literasi di daerah.
“Website KomunitasPenaku.id menjadi sarana penting untuk berbagi pengetahuan, memperluas jejaring, dan mendokumentasikan aktivitas komunitas secara digital. Ini adalah jembatan antara masyarakat, komunitas, dan pemerintah daerah,” jelasnya.

Sementara itu, perwakilan Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS), Ki Wangsa, menyoroti pentingnya dokumentasi sejarah dan budaya lokal, terutama di wilayah yang terdampak pembangunan Bendungan Jatigede.

“Saya tengah mengumpulkan bahan dokumentasi sejarah dari kawasan Cipaku, salah satunya terkait Masjid Al Kamil yang dulu direncanakan menjadi museum. Informasi semacam ini harus diselamatkan sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat,” ungkapnya.

Salah satu peserta, Mahdi, guru MTs Persis Sumedang dan penggerak literasi, menilai kegiatan ini sangat bermanfaat dalam memperluas wawasan tentang pengelolaan konten digital.
“Pelatihan ini membantu kami memahami bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkenalkan kegiatan literasi kepada masyarakat secara lebih luas,” ujarnya.

Melalui kegiatan ini, Disarpus Sumedang berharap terbangun kolaborasi antara pegiat literasi, akademisi, dan pemerhati kebudayaan dalam memperkuat ekosistem literasi digital di Kabupaten Sumedang yang berakar pada nilai-nilai budaya lokal.

Misteri Teka-teki Kawali: Abu dari Perang Bubat Munculnya Raja Sunda 140 tahun

Nrasumber:
Dr Drs Undang Ahmad Darsa M.hum
Filolog FIB UNPAD

Di tengah lembah hijau Ciamis, berdiri gugusan batu tua yang menyimpan kisah abadi — Astana Gede Kawali. Bukan sekadar tumpukan batu, tetapi prasasti hidup dari masa ketika Sunda dan Majapahit bersentuhan antara darah, kehormatan, dan perdamaian.

Konon, di sinilah abu Prabu Linggabuana dan Diah Pitaloka Citraresmi disemayamkan setelah Perang Bubat — tragedi besar yang mengguncang dua kerajaan. Namun, di balik kisah duka itu… tersimpan pesan rekonsiliasi, jejak Niskala Wastu Kancana, dan simbol perdamaian yang diukir dalam batu. Apakah batu-batu ini benar-benar “berbicara”? Apakah ini tempat suci di mana dua peradaban bersatu kembali dalam damai? Temukan jawabannya dalam kisah sejarah yang nyaris terlupakan — Kawali, tempat legenda beristirahat.

Dalam video ini: Menelusuri situs Astana Gede Kawali di Ciamis Menguak jejak sejarah Prabu Niskalawastu Kancana Menggali makna Perang Bubat dari sisi Sunda dan Majapahit Menemukan simbol-simbol perdamaian di balik Lingga Hiang dan batu perabuan kuno.

Sumber referensi:
Carita Parahyangan
Pararaton
Kidung Sundayana
Tradisi lisan masyarakat Kawali.

Disclaimer: Video ini diunggah dari sumber aslinya melalui Youtube Channel: Angelick Vaulina

Mencengangkan !!! Sebesar Ini Wilayah Sunda di Peta Kuno

Sunda tidak hanya dikenal sebagai salah satu buddaya yang ada di Indonesia, ataupun secara spesifik nama etnis masyarakat yang tinggal di Jawa Barat. Lebih dari itu, istilah “Sunda” juga harum dalam dunia ilmiah, khususnya pada bidang geologi-geografi. Menurut Guru Besar Emeritus Geologi ITB Prof. Dr. Koesoemadinata menjelaskan, istilah Sunda dalam ilmu kebumian tidak ada hubungannya dengan nama etnis atau istilah politik. Bahkan, istilah Sunda dalam ilmu kebumian telah dikenal secara internasional. Prof. Koesoemadinata memaparkan, istilah “Sunda” sudah lama dikenal untuk menyebut suatu wilayah yang terletak di belahan tenggara benua Asia. Nama “Sunda” konon lebih dulu disebut daripada nama “Nusantara”. Dalam video ini akan menjelaskan nama nama sunda yang ditemukan dalam catatan dan peta asing dan temuan prasasti yang akan di jelaskan oleh ahli filolog Universitas Padjajaran, Dr. Drs Undang Ahmad Darsa, M. Hum, seperi apa videonya? simak vlog berikut.

NARASUMBER :
Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum
Filolog, Dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad

Disclaimer: Video ini diunggah dari sumber aslinya melalui Youtube Channel: Angelick Vaulina

Gempar !!! Galuh Hilang dan Tidak Pernah Ada? Begini Faktanya, FILOLOG UNPAD

Sebuah tayangan video yang diterbitkan oleh Youtube Channel: Angelick Vaulina yang membahas tentang Kerajaan Galuh yang merupakan salah satu entitas politik paling penting dalam sejarah Tatar Sunda. Dengan bukti arkeologis (Situs Astana Gede Kawali), epigrafis (prasasti Kawali), filologis (naskah Sunda Kuna), serta data topografis, eksistensinya dapat dipastikan sebagai kerajaan yang nyata, bukan sekadar mitos. Adapun pembahasan tentang Kerajaan Galuh pada video ini didasarkan pada informasi dan pengetahuan Narasumber, yaitu: Dr. Drs Undang Ahmad Darsa, M. hum. (Filolog FIB UNPAD).