Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU) Rancang Program Keberlanjutan Naskah Kuno

Mang Sae | Agustus 15, 2025

Konsolidasi Pedaran Naskah Kuno (PENAKU). Foto: Sae

Sebuah langkah penting dalam pelestarian warisan literasi dan budaya Sunda terwujud melalui kegiatan Konsolidasi Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU) yang digelar di Sekolah Budaya, Sumedang pada Jumat sore, 15 Agustus 2025. Kegiatan ini diinisiasi oleh Dosen Universitas Padjadjaran, Kusnandar, sebagai upaya mempersatukan para pemangku kepentingan yang peduli terhadap pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan naskah kuno.

Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen penting, di antaranya Ketua Umum Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS) dan jajaran koordinator Matranya, Kepala Bidang Kebudayaan Disparbudpora Sumedang, MGMP Bahasa Sunda Sumedang, para pemegang naskah kuno, seniman, budayawan, serta pegiat literasi. Dalam forum konsolidasi ini, PENAKU menetapkan struktur organisasi dan menyusun program kerja strategis, yang mencakup: Pendataan dan digitalisasi naskah kuno. Kegiatan penelitian dan penerbitan hasil kajian. Program edukasi dan literasi budaya untuk sekolah dan masyarakat.

Menurut Kusnandar, pembentukan komunitas ini merupakan wujud sinergi lintas sektor. “Naskah kuno bukan hanya artefak masa lalu, tetapi sumber pengetahuan dan identitas budaya kita. Dengan PENAKU, kita berkomitmen merawat, mempelajari, dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dengan cara inventarisasi, preservasi dan utilisasi” ujarnya. Kegiatan ini juga menjadi momentum penguatan jaringan antara akademisi, pemerintah, komunitas budaya, dan masyarakat. Harapannya, PENAKU dapat menjadi pusat koordinasi dan kolaborasi dalam upaya pelestarian naskah kuno, khususnya di Sumedang.

Dengan terbentuknya struktur dan program kerja yang jelas, Komunitas Pedaran Naskah Kuno siap melangkah sebagai garda terdepan dalam menjaga warisan sastra dan sejarah bangsa, agar tetap relevan dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Sebelum acara ditutup tentunya ada suguhan menarik dari Abah Engkus sebagai juru pantun sambil diiringi kecapi yang menemani sore itu semakin syahdu dengan lantunan rajah dan cerita pantunnya

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website guarmedia.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://www.guarmedia.com/2025/08/komunitas-pedaran-naskah-kuno-penaku.html

Mengenal 30 Naskah Kuno di Sumedang dari Seorang Filolog

Nur Azis – detikJabar
Rabu, 05 Okt 2022 22:30 WIB

Anggi Endrawan, Seorang Filolog di Bidang Kebudayaan, Disparbudpora, Sumedang (Foto: Nur Azis/detikJabar).

Sumedang – Sebanyak 30 naskah kuno berhasil diinventarisasi oleh Bidang Kebudayaan dari Dinas Pariwisatawa, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora), Kabupaten Sumedang. Naskah kuno tersebut kebanyakan merekam peristiwa pada masa Kesultanan Sumedang Larang. Hal itu diungkapkan oleh ahli filolog dari Bidang Kebudayaan, Disparbudpora Sumedang Anggi Endrawan saat diwawancarai detikJabar belum lama ini. “Naskah kuno yang sudah ditemukan di masyarakat jumlahnya ada sekitar 52 naskah, itu belum 5 naskah yang baru ditemukan baru-baru ini dan yang berhasil diinventarisasi itu ada 30 naskah, naskah-naskah itu bukan dihibahkan dari masyarakat tapi boleh difoto atau didigitalisasi oleh bidang kebudayaan,” kata Anggi yang kini masih berstatus sebagai tenaga sukarelawan (Sukwan) di Bidang Kebudayaan, Disparbudpora Sumedang.

Anggi memaparkan naskah kuno yang berhasil ditemukan dan diinventarisasi rata-rata merupakan naskah kuno pada abad ke-17 atau masa kesultanan Sumedang Larang. “Itu terlihat dari corak tulisannya menggunakan huruf abjad pegon Sunda, atau aksara arab yang dipakai untuk merekam peristiwa dengan menggunakan bahasa Sunda, tulisan Arab tapi bahasa Sunda,” ungkapnya. Naskah-naskah kuno itu, sambung pria lulusan Fakultas Ilmu Budaya Unpad ini, ada yang berbentuk wawacan atau mengacu pada 17 jenis pupuh (cara bacanya didendangkan), ada yang berbentuk prosa dan ada juga yang berbentuk narasi.

Kalau naskah kuno berbentuk wawacan itu biasanya naskah kuno yang menggambarkan suasana hati semisal sedang kasmaran berarti pupuhnya asmarandana, kemudian kalau bentuk prosa itu biasanya terkait tentang ajaran atau hukum dan biasanya tulisannya tersusun. Kemudian kalau bentuk narasi itu seperti catatan-catatan serupa kronik, semisal tulisan tentang suatu tempat yang pernah dikunjungi berikut dengan keterangan tanggal dan lokasinya,” terangnya.

Anggi melanjutkan, dari 30 naskah kuno yang ada, nahkah tersebut di antaranya berisikan tentang pengetahuan. Dalam hal ini dibagi ke dalam 3 bagian, seperti ilmu pengetahuan tentang tata cara bercocok tanam khususnya bertani padi, sistematika perhitungann waktu dan pengetahuan tentang obat-obatan tradisional. “Kalau orang-orang dulu saat belum ada teknologi ponsel atau kalender, itu soal waktu itu menggunakan penalaran khusus yang mengacu pada penanggalan hijriah, dan di naskah kuno itu ada rumusannya dan sadar terhadap waktu,” paparnya. “Sekarang ada rumah sakit, kalau dulu itu kan pakai tradisional jadi acuannya saat itu pada naskah atau catat,” ujarnya.

Kandungan lainnya, yakni berisikan tentang kesejarahan seperti babad (asal usul) atau riwayat dan berisikan ajaran atau hukum. “Seperti kalau riwayat itu tentang sosok Ogin Amar Sakti, seorang pribumi yang memberontak terhadap Belanda, itu ada wawacannya, ada kisahnya,” tuturnya. “Sementara kalau tentang ajaran, seperti tentang tarikat Qadiriyah, tentang tarikat Naqsyabandiyah, lalu ada wawacannya Syekh Abdul Kadir Jaelani, nah itu soal ajaran,” ujarnya.

Itu kenapa, kata Anggi, naskah-naskah kuno yang ada haruslah benar-benar dikelola, diperhatikan dan dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang. Terlebih Sumedang memiliki slogan sebagai puser budaya Sunda. “Sumedang ini memiliki slogan puser budaya Sunda, slogan itu darimana asalnya jika tidak bersumber dari naskah-naskah kuno atau manuskrip-manuskrip yang ada maka sudsh selayaknya naskah kuno ini harus dikelola dan dikembangkan dengan baik,” ucapnya.

(mso/mso)

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website detik.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6330891/mengenal-30-naskah-kuno-di-sumedang-dari-seorang-filolog.

Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius”

Kantor Komunikasi Publik

Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum (Foto oleh: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 13/06/2016] Jati diri kesundaan sebaiknya bukan hanya tersaji dalam bentuk tampilan fisik berupa pakaian tradisional, atau simbol budaya lahiriah lainnya. Beragam nilai hidup yang telah diwariskan nenek moyang justru menjadi substansi jati diri Sunda serta menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda. “Jauh lebih penting adalah substansi kesundaan. Seperti silih asah, silih asih, silih asuh. Itulah yang mencetak cara berpikir kita,” kata Dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum. Nilai-nilai itu di antaranya tersirat dalam naskah-naskah Sunda kuno. Dr. Undang menjelaskan, melalui filologi, dipelajari perkembangan kebudayaan suatu masyarakat melalui konsep-konsep pemikirannya yang di antaranya tertuang dalam tradisi tulis, khususnya naskah. “Jadi, mempelajari naskah itu bukan hanya menyalin, mengedisi, lalu disajikan untuk bacaan baru, tetapi jauh lebih dari itu,” tutur Kepala Program Studi Sastra Sunda FIB Unpad ini.

Menurut Dr. Undang, tidak semua unsur atau produk budaya memiliki kearifan lokal. Dengan mendalami naskah kuno, dapat dipelajari kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah terendap. Lebih dari itu, sebaiknya yang diangkat adalah local genius yang terkandungnya. “Jadi, local wisdom mungkin tidak akan begitu bermanfaat kalau penyangga-penyangganya tidak memiliki local genius yang kuat. Local genius inilah yang mesti dicetak melalui sekolah dan perguruan tinggi untuk menykapi serta mengimplementasikan tata nilai,” paparnya. Dr. Undang pun menyebut naskah-naskah kuno itu sebagai “produk kaum intelektual yang lahir lewat lembaga formal pendidikan pada tiap-tiap masanya”. Pria kelahiran Tasikmalaya 19 Oktober 1962 ini meyakini, penulis naskah bukanlah orang yang sembarangan. Mereka adalah orang-orang cerdas.

Ada naskah, pasti ada yang menulis. Pertanyaan saya, di mana pabrik-pabrik orang cerdas itu? Ternyata, adalah ‘mandala’ sebagai lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kerajaan, dan  pesantren merupakan lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kesultanan,” kata Dr. Undang. Ia pun tergelitik untuk menelusuri, di mana Raja-raja Sunda zaman dahulu menempuh  pendidikan formalnya. Dr. Undang meyakini, para Raja Sunda merupakan orang-orang berpendidikan. Menurutnya, saat ini belum banyak peneliti  yang mendalami mengenai hal ini. “Pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali,” ungkapnya.

Istilah belajar pendalaman ilmu itu pun disebut dengan “tapa”.  Berbeda dengan pengertian “tapa” saat ini, yang bahkan banyak masyarakat mengaitkannya ke hal-hal bernuansa magis, “tapa” di sini berarti menuntut ilmu. Dr. Undang menjelaskan, bahwa kegiatan tapa dilakukan di sebuah lembaga pendidikan, yakni di mandala. “Kalau begitu, tempat bertapa itu mandala, tempat tolabul ilmu itu pesantren, dan Unpad ini pada dasarnya tiada lain adalah tempat bertapa alias tempat tolabul ilmu” imbuhnya. Berbagai penelitian terkait naskah-naskah Sunda kuno sudah dilakukan Dr. Undang sejak ia menempuh Pendidikan Sarjana di  Jurusan Sastra Daerah (Sunda) Fakultas Sastra Unpad. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan Magister dan Doktornya  di Program Pascasarjana Unpad, dengan mendalami ilmu Filologi.

Dr. Undang memang tertarik untuk mendalami Ilmu Kesundaan. Bukan hanya mengenai bahasa, tetapi mengenai cara hidup orang Sunda sejak dulu, seperti bagaimana mereka mengatur sistem  tata kelola pemerintahannya, bagaimana tata cara bersinergi dengan lingkungannya, bagaimana perkembangan kuliner dan teknik busananya, bagaimana mereka menjalani kehidupan keagamaan sehari-hari, dan sebagainya. Saat ini, Dr. Undang pun ingin mewujudkan cita-citanya, yakni membangun  laboratorium naskah kuno Sunda dalam bentuk digital. Laboratorium naskah digital ini diharapkan dapat turut membantu para peneliti lain dalam mempelajari naskah kuno Sunda tanpa harus mengunjungi langsung lokasi ditemukannya naskah. Digitalisasi ini juga diperlukan untuk menjaga agar naskah-naskah ini dapat terpelihara dengan baik dan tidak cepat rusak.

Menurutnya, Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi penyelamat naskah-naskah Sunda. Naskah-naskah Sunda ini merupakan salah satu tangible cultural heritage  atau warisan budaya kebendaan yang bersifat kongkrit (material culture) dan sekaligus mengandung teks yang dapat dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage atau warisan budaya nonkebendaan yang bersifat abstrak (immaterial culture). “Itulah kewajiban kami di Prodi Sastra Sunda, untuk mendata, menginventarisasi, mencatat, mendigitalisasi, dan mengkaji sekaligus mengungkap kandungan naskah, juga mencetak kader-kader muda yang concern terhadap itu,” tuturnya.

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website unpad.ac.id yang dapat dilihat pada tautan berikut: https://www.unpad.ac.id/profil/dr-drs-undang-ahmad-darsa-m-hum-local-wisdom-tidak-begitu-bermanfaat-tanpa-local-genius/.

Terkuak! Isi Naskah Kuno yang Dimiliki Warga Sumedang

Nur Azis – detikJabar
Jumat, 30 Sep 2022 11:00 WIB

Salah satu naskah kuno yang dimiliki warga Sumedang. (Foto: Nur Azis/detikJabar)

Sumedang – Bidang Kebudayaan dari Disparbudpora Sumedang belum lama ini dibuat takjub oleh warga Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang yang masih menyimpan lima buku berisikan naskah kuno. Menurut pemiliknya, kelima buku tersebut merupakan warisan peninggalan dari sesepuhnya yang diwariskan turun temurun kepada keluarganya. Naskah itu ada yang masih dalam bentuk kertas aslinya, tapi ada juga yang sudah berbentuk salinan yang ditulis dalam bentuk huruf pegon Sunda.

Kepala Bidang Kebudayaan dari Disparbudpora Sumedang, Budi Akbar menyebut, naskah kuno itu diduga berasal dari abad ke-16 atau setelah abad ke-17. “Naskah kuno yang dibukukan itu ada yang masih dalam bentuk kertas aslinya dan ada juga yang sudah berbentuk salinan,” ujar Budi, Jumat (30/9/2022). Kendati demikian, ia meyakini kandungan isinya masih belum berubah. “Karena pada abad 16 atau abad 17 tidak semua orang bisa menulis dan yang bisa nulis pada masa itu pasti orang-orang pinter dan yang ditulisnya pasti bermanfaat,” terangnya.

Budi menjelaskan, berdasarkan penelitian sepintas dari ahli filologi Disparbudpora Sumedang, dari kelima buku itu, salah satu isi di dalamnya memuat tentang wawacan atau karya sastra dalam bahasa Sunda. Wawacan tersebut bertuliskan: wawacan awak salira, guaran diri antawis wujud sareng batinna, jiwa sareng ragana. “Tulisan itu kaitannya dengan spiritual,” ujar Budi.

Isi naskah lainnya, sambung Budi, menceritakan tentang Babad Cirebon. Penggalan isinya bertuliskan : Babad Cirebon, guaran riwayat putra mahkota Karajaan Sunda (putra Prabu Siliwangi) nu kaluar ti karaton milari kasajatian kaelmuan dugika ngebak ngempur ngabuka wilayah nu ayeuna katelah nami wilayah Cirebon. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah Babad Cirebon, mengungkap riwayat putra mahkota Kerjajaan Sunda (putra prabu Siliwangi) yang keluar dari keraton untuk mencari kesejatian keilmuan sampai membuka wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Cirebon.

Budi menyebut, berdasarkan catatan Bidang Kebudayaan Sumedang, total hingga kini sudah ada 59 naskah kuno yang telah ditemukan di Sumedang , berikut 5 naskah kuno yang baru ditemukan tersebut. “Untuk lima naskah kuno yang baru ditemukan, saat ini masih dipegang oleh pemiliknya, namun kami sudah meminta izin untuk memfotocopynya,” ujarnya.

Mengenal Wawacan
Dilansir dari situs kemdikbud.go.id, wawacan merupakan salah satu bentuk kesusastraan Sunda yang hadir di tanah Sunda kira-kira pada pertengahan abad ke-17 melalui ulama Islam dan pesantren. Wawacan adalah cerita panjang yang berbentuk dangding (menggunakan aturan pupuh). Seperti naskah Wawacan Ogin Amarsakti (WOA) diperoleh di Padalarang, Kabupaten Bandung. WOA berisi masalah keislaman dan perkenalan tokoh Ogin sejak bayi hingga menjadi raja, kesaktian serta keunggulan pihak Ogin, semata-mata hanya dalam rangka penyebaran ajaran Islam.

Berita sebelumnya, Lima buku berisikan naskah kuno masih terpelihara ditangan salah seorang warga Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang. Temuan naskah tersebut diketahui saat momen Milangkala Kecamatan Jatinunggal pada Selasa (27/9/2022). Hal itu sebagaimana yang diutarakan oleh Wakil Bupati (Wabup) Sumedang Erwan Setiawan kepada detikjabar, Kamis (29/9/2022).

Jadi waktu itu saya menghadiri acara Milangkala Jatinunggal yang ke-19, ada salah seorang warga yang menunjukan 5 buku berisikan naskah kuno, saat itu kebetulan ada orang dari Perpustakaan Nasional yang hadir,” ungkap Erwan. Erwan menyebut, sepintas terkait isi dari naskah kuno itu salah satunya berisikan tentang pesan-pesan moral yang baik bagi masyarakat kaitannya dengan nilai budaya. Atas temuan tersebut, sambung Erwan, naskah itu rencananya akan dibawa ke perpustakaan nasional untuk diterjemahkan secara detail terkait isi dari seluruh kandungan di dalamnya. “Mudah-mudahan bisa secepatnya diterjemahkan agar selanjutnya bisa dipublikasikan ke masyarakat,” ujarnya.

(orb/orb)

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website detik.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6320706/terkuak-isi-naskah-kuno-yang-dimiliki-warga-sumedang.

Pendigitalisasian Naskah Kuno yang Ada di Sumedang

inimahsumedang • Budaya • March 10, 2023

Tim Pusat Preservasi dan Alih Media Preservasi Perpustakaan Nasional melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Sumedang dalam rangka Digitalisasi dan Perlindungan/Konservasi Naskah Kuno sebagai tindaklanjut terkait penemuan naskah-naskah kuno di Kabupaten Sumedang.

Kegiatan tersebut, Tim Filolog MGMP Bahasa Sunda SMP Kabupaten Sumedang melakukan pendampingan terkait digitalisasi, reservasi, dan restorasi Naskah Kuno yang bertempat di Sapphire Hotel Sumedang pada Selasa, 21 Februari 2023.

Preservasi, konservasi, dan restorasi bukan hanya kegiatan untuk merawat, melestarikan dan memperbaiki atau melindungi saja. Tetapi juga didalamnya terdapat unsur pengelolaan dalam hal penggunaan teknik, metode atau proses. 

Pada dasarnya reservasi atau pelestarian bertujuan untuk melestarikan informasi yang terkandung dalam bahan pustaka agar dapat dipertahankan keutuhannya. Sedangkan konservasi atau pengawetan lebih ke cara atau teknik, proses, metode yang digunakan untuk melindungi bahan pustaka agar tidak mudah rusak. Lain halnya dengan restorasi, lebih ke memperbaiki bahan pustaka yang sudah rusak agar bahan pustaka tersebut dapat kembali seperti sediakala. 

Kegiatan Preservasi dan Pendigitalisasian naskah kuno tersebut ada sekitar 90 naskah kuno dari Disparbudpora Kabupaten Sumedang yang diserahkan. Menurut Dr. Hj. Cucu Suhartini, M.Hum. dalam chanel youtube ONEDIGINEWS kebanyakan naskah-naskah kuno tersebut berisi wawacan dan lainnya. 

Menurut tim Filolog MGMP Bahasa Sunda, Mia Sugiarti, untuk saat ini ada tambahan lagi naskah kuno, “sekarang ada sekitar 190 naskah kuno yang akan didigitalisasikan yang ada di Kabupaten Sumedang.” ujarnya saat ditemui, Kamis, 9 Maret 2023. Wah makin tahu Indonesia yah, ternyata di Sumedang ada banyak juga, itu pun sepertinya belum semua. Pasti masih ada lagi.

Kegiatan tersebut adalah dalam rangka penyelamatan warisan budaya leluhur, agar tersimpan dengan baik dan juga nantinya bisa disebarluaskan kepada masyarakat, agar masyarakat tahu tentang isi-isi yang ada dalam naskah kuno, karena banyak mengandung pembelajaran positif.

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website InimahSumedang.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://inimahsumedang.com/pendigitalisasian-naskah-kuno-yang-ada-di-sumedang/

Melestarikan Warisan melalui Pendaftaran dan Penghargaan: Peraturan Perpustakaan Nasional Nomor 16 Tahun 2024

Penulis: Admin Komunitas PENAKU

Di tengah tantangan modern yang mengancam kelestarian budaya, Indonesia terus memperkuat upaya pelestarian warisan intelektualnya. Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pendaftaran dan Penghargaan Naskah Kuno, yang ditetapkan pada 31 Desember 2024 oleh Kepala Perpustakaan Nasional, menjadi langkah penting dalam menjaga dokumen-dokumen berharga ini. Naskah kuno, didefinisikan sebagai tulisan tangan berumur minimal 50 tahun dengan nilai sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan, dianggap sebagai pondasi peradaban bangsa. Peraturan ini menggantikan aturan lama tahun 2014, menyesuaikan dengan kebutuhan terkini untuk mencegah kepunahan naskah dan memotivasi masyarakat dalam penyimpanan serta penyebarluasannya.

Peraturan ini lahir dari pengakuan bahwa naskah kuno bukan hanya artefak masa lalu, melainkan sumber inspirasi bagi generasi sekarang dan mendatang. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dan regulasi terkait, penyelenggaraannya ditangani oleh Perpustakaan Nasional melalui unit pengelolaan naskah kuno. Dibentuk tim khusus yang terdiri dari pengarah (Kepala Perpustakaan Nasional), penanggung jawab (pejabat tinggi madya), ketua (pejabat tinggi pratama), sekretaris, dan anggota dari pustakawan, filolog, serta konservator. Tim ini bertugas memeriksa administrasi, verifikasi data, publikasi, dan seleksi untuk penghargaan, memastikan proses transparan dan profesional.

Fokus utama peraturan adalah pendaftaran naskah kuno, yang dapat diajukan oleh pemohon seperti perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, atau swasta—bahkan melalui kuasa dengan format surat resmi. Kriteria pendaftaran ketat: naskah harus tulisan tangan asli, berumur di atas 50 tahun, bernilai tinggi, tidak diperjualbelikan, dan bebas sengketa. Data yang diperlukan mencakup identitas pemilik dan detail naskah, seperti judul, bahasa, bahan, ukuran, dan kondisi. Prosesnya berjenjang: mulai dari pengusulan (langsung atau online melalui situs resmi), pemeriksaan administrasi untuk kelengkapan, verifikasi kebenaran data oleh tim (termasuk kunjungan lapangan jika perlu), hingga pencatatan dengan pemberian Nomor Registrasi Nasional unik. Verifikasi meliputi pemeriksaan fisik, identitas, dan kepemilikan, dengan hasil berupa sertifikat resmi yang diterbitkan dalam waktu maksimal 50 hari kerja.

Tak berhenti di pendaftaran, peraturan ini juga mengatur penghargaan sebagai bentuk apresiasi bagi pihak yang berjasa dalam pelestarian. Penghargaan diberikan secara nasional, dengan kategori seperti individu, lembaga, atau kelompok yang telah menyimpan, merawat, dan menyebarluaskan naskah. Prosesnya mencakup pendaftaran usulan, verifikasi oleh tim, penilaian oleh juri independen berdasarkan kriteria seperti kontribusi, inovasi, dan dampak sosial, hingga penetapan pemenang oleh Kepala Perpustakaan Nasional. Penghargaan bisa berupa sertifikat, plakat, atau insentif lain, dengan pengumuman tahunan untuk mendorong partisipasi masyarakat. Sistem informasi terintegrasi digunakan untuk mempublikasikan data naskah terdaftar, memfasilitasi akses publik dan kolaborasi antarlembaga.

Pendanaan peraturan ini bersumber dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya, memastikan keberlanjutan program. Selain itu, ada ketentuan tentang pembinaan, seperti sosialisasi, pelatihan, dan monitoring, serta integrasi dengan sistem informasi untuk efisiensi. Peraturan ini juga menekankan peran daerah, dengan perpustakaan provinsi dan kabupaten/kota sebagai mitra dalam pendataan dan verifikasi awal.

Secara keseluruhan, Peraturan Nomor 16 Tahun 2024 ini bukan hanya kerangka hukum, melainkan katalisator untuk membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya naskah kuno. Di era digital, di mana alih media menjadi kunci aksesibilitas, aturan ini memastikan warisan budaya Indonesia tetap hidup, mencegah hilangnya pengetahuan berharga akibat kelalaian atau bencana. Dengan implementasi yang kuat, Indonesia bisa menjadi pemimpin regional dalam pelestarian dokumenter, menginspirasi generasi muda untuk menghargai akar sejarah mereka.

Melestarikan Warisan Budaya: Peraturan Perpustakaan Nasional Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Naskah Kuno

Penulis: Admin Komunitas PENAKU

Di tengah arus modernisasi yang pesat, Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang melimpah terus berupaya menjaga akar sejarahnya. Salah satu bentuk upaya tersebut tercermin dalam Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Naskah Kuno, yang ditetapkan pada 3 September 2024 oleh Plt. Kepala Perpustakaan Nasional, E. Aminudin Aziz. Peraturan ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan komitmen nasional untuk melindungi naskah-naskah kuno—dokumen tulisan tangan berumur minimal 50 tahun yang menyimpan nilai kebudayaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Seperti yang diungkapkan dalam pertimbangan peraturan, naskah kuno adalah karya intelektual yang menjadi pondasi peradaban bangsa, dan tanpa pelestarian yang sistematis, mereka rentan terhadap kerusakan atau bahkan kepunahan.

Peraturan ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk memberikan landasan hukum yang kuat, mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan serta peraturan pemerintah terkait lainnya. Di dalamnya, pelestarian didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk menyelamatkan dan memperpanjang usia naskah melalui pendataan, pemetaan, konservasi, restorasi, dan alih media. Pendekatan ini dilakukan secara berjenjang, melibatkan Perpustakaan Nasional sebagai koordinator utama, Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pelaksana di daerah, serta pemilik naskah kuno yang bertanggung jawab atas koleksi pribadinya. Pemilik bahkan bisa meminta pendampingan dari perpustakaan terkait, menekankan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.

Tahapan pelestarian dimulai dari pendataan, di mana tim khusus menghimpun data kerusakan naskah, mengidentifikasi jenis dan tingkat kerusakan (dari baik hingga berat), serta memverifikasi kebenaran data. Selanjutnya, pemetaan menentukan lokasi dan pemilik naskah prioritas. Konservasi dan restorasi menjadi inti fisik pelestarian: konservasi mencakup pemeliharaan lingkungan penyimpanan (seperti pengendalian suhu dan kelembaban), perawatan rutin (pembersihan debu dan pencegahan biota), serta perbaikan (dari praperbaikan hingga penjilidan ulang). Restorasi, di sisi lain, bertujuan mengembalikan kondisi asli dengan prinsip minimalis dan reversibel, seperti mengisi tulisan hilang atau memperbaiki jilidan. Tingkat kerusakan menentukan siapa yang menangani—kabupaten/kota untuk kerusakan ringan, provinsi untuk sedang, dan nasional untuk berat.

Tak kalah penting, alih media mengubah naskah fisik menjadi format digital untuk aksesibilitas lebih luas. Proses ini meliputi pemindaian, penyuntingan, dan pembuatan empat salinan digital yang diserahkan ke perpustakaan nasional, provinsi, kabupaten/kota, serta pemilik. Jika pemilik telah melakukan alih media dengan pihak lain, salinan tetap wajib diserahkan. Peraturan juga menekankan mitigasi bencana, mulai dari sosialisasi prabencana hingga perbaikan pascabencana, untuk mencegah kehilangan akibat banjir, gempa, atau kebakaran.

Untuk mendukung penyelenggaraan, peraturan mengatur penyediaan sarana prasarana seperti alat konservasi dan ruang khusus, peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui pelatihan dan bimbingan teknis, serta pembinaan melalui seminar, monitoring, dan bantuan peralatan. Sistem informasi pelestarian naskah kuno dikembangkan secara terintegrasi, dengan pemutakhiran data berkala oleh semua tingkat perpustakaan. Koordinasi dan kerja sama dengan pemilik naskah diwujudkan melalui perjanjian, termasuk tukar menukar data digital dan pemanfaatan sumber daya.

Pelaporan kegiatan dilakukan tahunan: kabupaten/kota ke provinsi, dan provinsi ke nasional. Naskah yang telah dialih media dapat didayagunakan untuk masyarakat, meskipun pemilik berhak menolak. Pendanaan bersumber dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya, memastikan keberlanjutan program.

Secara keseluruhan, peraturan ini bukan hanya aturan birokratis, melainkan langkah strategis untuk menjaga identitas bangsa. Di era digital saat ini, pelestarian naskah kuno seperti ini memastikan generasi mendatang tetap terhubung dengan akar budaya mereka, mencegah hilangnya pengetahuan berharga yang telah bertahan ratusan tahun. Dengan implementasi yang baik, Indonesia bisa menjadi teladan dalam pelestarian warisan dunia.

Wawacan Babad Sumedang

Asal Naskah: Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

Pemilik Naskah: Bapak Pupung Supena
Peneliti Naskah: Dedi Kurniadi, SS. (Filolog, Peneliti Naskah Kuno/Manuskrip)

Gambaran Isi Naskah:
Naskah ini menceritakan riwayat asal mula Kerajaan Sumedang yang berawal dari Kerajan Galuh dan Pajajaran yang mempunyai hubungan keturunan dengan bangsawan Sumedang, hingga berhubungan dengan kerajaan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati mempunyai keturunan yang nantinya menjadi pengagung di kerajaan Sumedang, sampai berdirinya Kerajaan Sumedang Larang yang pada saat itu sedang dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau lebih dikenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun, putra dari Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri. Suatu saat terjadi polemik cinta antara Prabu Geusan Ulun yang dituduh membawa lari Ratu Haris Baya istri dari Pangeran Giri Laya pemimpin Cirebon. Karena Pangeran Giri Laya sakit hati akhirnya dia mengutus seluruh prajurit Cirebon untuk menyerang Sumedang agar bisa merebut kembali Ratu Haris Baya. Namun prajurit Cirebon dapat dihadang oleh empat pengawal sakti dari Sumedang yaitu Ki Sayang Hawu, Ki Nangganan, Ki Terong Peot, dan Ki Kondang Hapa.

Tranliterasi dan Terjemahan Naskah Sumedang
Program Kerja Seksi Kepurbakalaan dan Sejarah
Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Sumedang
Tahun Anggaran 2021

Sajarah Rundayan Karuhun Sumedang

Asal Naskah: Dusun Kadu Heuleut RT 002 RW 001, Desa Kaduwulung, Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang.

Pemilik Naskah: Bapak Komar Samsudin
Peneliti Naskah: Ilham Fazru Jaman, S. Hum. (Filolog, Peneliti Naskah Kuno/Manuskrip)

Gambaran Isi Naskah:
Naskah Sajarah Rundayan Karuhun Sumedang yang ditemukan di Dusun Kadu Heuleut, Desa Kaduwulung, Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang ini merupakan naskah warisan turun temurun dari leluhur Bapak Komar. Beliau menerima naskah ini dari pamannya, yaitu Bapak Sahna (Alm) yang berasal dari Desa Gorowong, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang. Bapak Komar menerima warisan naskah ini sekitar tahun 1970, saat memperoleh naskah ini beliau berusia sekitar 15 tahun. Naskah ini telah didata oleh beberapa pegiat Budaya baik dari kalangan Akademisi maupun Budayawan yang bertugas di wilayah Kabupaten Sumedang. Berdasarkan penuturan pamannya, naskah yang serupa dimiliki juga oleh Pangeran Soeria Atmaja atau Pangeran Mekkah yang menjabat Bupati Sumedang pada tahun 1883-1919. Tulisan di dalam naskah beraksara Arab Pegon menggunakan tinta berwarna hitam. Bahasa yang digunakan terdiri atas kosakata bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Sangsekerta dan bahasa Kawi. Akan tetapi, selain aksara arab ditemukan pula penulisan angka yang menggunakan aksara latin (bukan angka romawi).

Tranliterasi dan Terjemahan Naskah Sumedang
Program Kerja Seksi Kepurbakalaan dan Sejarah
Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Sumedang
Tahun Anggaran 2021