Kolaborasi Jadi Kunci Pelestarian Naskah Nusantara

Salemba — Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), E. Aminudin Aziz, menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat baik individu maupun komunitas dalam upaya preservasi naskah Nusantara.

Hal tersebut disampaikan Kepala Perpusnas pada saat membuka secara resmi kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Diskusi Kolaboratif Preservasi serta Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas dengan tema Kolaborasi pemerintah dan komunitas dalam menjaga dan menghidupkan naskah kuno Nusantara, Rabu (29/10/2025).

Menurutnya, kolaborasi ini bukan hanya penting, tetapi juga merupakan amanat dari regulasi nasional, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menetapkan naskah atau manuskrip sebagai salah satu dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan.

“Baik pemerintah dan komunitas, memiliki tanggung jawab masing-masing. Peran pemerintah misalnya memberikan fasilitasi yang kali ini dikemas dalam bentuk bimbingan teknis, sementara peran komunitas adalah merawat dengan baik naskah-naskah tersebut,” jelasnya.

Ia menambahkan, peran komunitas bukan hanya merawat fisik naskah Nusantara semata tetapi yang lebih utama adalah membuat naskah-naskah Nusantara dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas yang kemudian pemanfaatannya dapat dikolaborasikan dengan berbagai pihak.

“Salah satu contohnya adalah naskah Sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Saya sampaikan kepada Gubernur Jawa Barat agar naskah ini dimanfaatkan. Gubernur kemudian memerintahkan aparatnya untuk mengkaji naskah tersebut dan menjadikannya dasar dalam pembuatan bacaan sederhana bagi anak-anak di sekolah. Karena isinya tentang resi dan nilai pengabdian, maka nilai-nilai itu juga dapat disebarkan kepada Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat,” jelasnya.

Selain itu, Kepala Perpusnas menekankan dua hal penting lainnya dalam upaya pelestarian naskah Nusantara yakni tidak abai terhadap keberadaan naskah kuno, serta tidak mengabaikan substansi atau nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Kepala Pusat Preservasi dan Ahli Media Bahan Perpustakaan, Tri Luki Cahya Dini, menyampaikan para peserta bimbingan teknis akan mengikuti empat kelas utama yaitu praktik presentasi preventif sederhana pada naskah kuno, praktik pembuatan kotak sarana penyimpanan atau portepel, praktik restorasi atau perbaikan sederhana pada naskah kuno dan materi serta praktik digitalisasi naskah.

“Harapan kami kegiatan ini dapat menjadi wadah peningkatan kapasitas dan penguatan jejaring kerjasama antar pemerintah, komunitas, pondok pesantren serta masyarakat pelestari naskah. Dengan bekal keterampilan yang diperoleh, para peserta dapat menerapkannya di bidang masing-masing sehingga pelestarian naskah kuno dapat berjalan secara lebih mandiri dan berkelanjutan,” jelasnya.

Perwakilan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Budi Wahyono, memaparkan kolaborasi dengan perpustakaan kabupaten/kota se-Jawa Tengah serta beberapa perguruan tinggi sebagai upaya pelestarian naskah kuno. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperkuat pengelolaan, pendataan, dan digitalisasi naskah kuno agar lebih mudah diakses dan dilestarikan.

“Koordinasi rutin dilakukan secara daring melalui Zoom untuk berbagi informasi dan merencanakan kegiatan bersama. Selain itu, perwakilan dari kabupaten/kota sering datang langsung ke provinsi untuk melakukan konsultasi terkait pengelolaan dan pelestarian naskah,” tuturnya.

Sementara itu, pimpinan dari komunitas Nahdlatul Turots, Kiai Utsman Hasan, menyampaikan dalam salah satu naskahnya Syaikhona Muhammad Kholil menekankan pentingnya mencintai negeri atau tempat kelahiran sebagai bagian dari keimanan. 

“Nilai itu kami warisi hingga kini. Ketika membuka naskah, kami semakin kuat merasakan ikatan cinta tanah air dan mengekspresikannya dengan merawat naskah agar tidak hilang atau rusak,” tuturnya.

Dosen sekaligus pengurus komunitas Nahdlatul Turots, Ustadz Moh. Ainur Ridha, menambahkan Nahdlatul Turots merupakan konsorsium atau komunitas yang menghimpun naskah-naskah pesantren, karya para ulama serta naskah-naskah keislaman lainnya yang berdiri sejak tahun 2021.

“Komunitas ini hadir dengan semangat membangkitkan dan membumikan kembali naskah-naskah kuno ulama Nusantara sebagai warisan intelektual bangsa. Nahdlatul Turots menjalankan tiga asas Khidmat Nahdlatul Turots yaitu inventarisasi, preservasi dan diseminasi,” jelasnya.

Peneliti naskah kuno sekaligus perwakilan dari komunitas Sraddha Sala, Rendra Agusta, menyampaikan berdirinya komunitas Sraddha Sala berawal dari keprihatinan terhadap minimnya peneliti naskah kuno Jawa khususnya naskah Merapi-Merbabu yang jumlahnya terus menurun.

“Sraddha Sala didirikan oleh kalangan akademisi lintas kampus seperti UGM, UNS, dan UI dan berjalan secara mandiri selama hampir satu dekade. Sraddha Sala memiliki tiga pilar kegiatan, yaitu institut untuk riset, komunitas sebagai ruang lintas disiplin, dan store yang menjadi penopang ekonomi gerakan,” tuturnya.

Turut hadir dalam kegiatan ini, Sekretaris Utama, Joko Santoso, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, Suharyanto, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Pusat Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Yeri Nurita, Kepala Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan, Supriyanto, Kepala Pusat Data dan Informasi, Wiratna Tritawirasta serta para peserta bimtek yang hadir secara luring maupun daring.

Reporter: Anastasia Lily

Dokumentasi: Ahmad Kemal Nasution

Disclaimer: Seluruh isi berita ini diambil dari Website Resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dari tautan ini: https://www.perpusnas.go.id/berita/kolaborasi-jadi-kunci-pelestarian-naskah-nusantara

Pengelolaan Naskah Kuno di Sumedang Masih Terkendala, Survei Ungkap Lima Masalah Utama

Sumedang — Hasil survei yang dilakukan Komunitas PENAKU terhadap 29 responden yang terdiri dari unsur pengurus dan anggota Komunitas PENAKU mengungkap adanya lima masalah utama dalam pengelolaan naskah kuno di Kabupaten Sumedang. Temuan ini diperoleh melalui formulir Google yang dianalisis secara tematik sebagai bagian dari kegiatan pemetaan pengelolaan naskah kuno di Kabupaten Sumedang.

Survei menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia (SDM) merupakan kendala paling dominan. Minimnya tenaga ahli filologi, konservasi, dan manajemen naskah, serta rendahnya pemahaman masyarakat, menyebabkan banyak naskah belum dikelola secara optimal.

Selain itu, responden menyoroti tantangan fisik dan teknis, seperti kondisi naskah yang rapuh, kurangnya fasilitas penyimpanan standar, dan belum adanya integrasi teknologi digital sebagai penunjang akses serta pelestarian.

Dari sisi kebijakan, survei mencatat keterbatasan anggaran, belum adanya regulasi khusus, dan birokrasi yang rumit sebagai faktor penghambat. Akses terhadap naskah juga terbatas akibat inventarisasi yang belum tuntas dan masih banyaknya naskah yang disimpan secara pribadi.

Pemanfaatan konten naskah juga dinilai rendah. Banyak naskah belum diterjemahkan, belum dikaji secara ilmiah, dan belum disajikan dalam bentuk yang mudah diakses oleh masyarakat.

Dalam paparannya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pemetaan, Kusnandar selaku pengurus Komunitas PENAKU menyampaikan bahwa temuan ini menggambarkan kondisi nyata lapangan dan menjadi dasar penting bagi penyusunan strategi pelestarian ke depan.

Permasalahan yang teridentifikasi ini menunjukkan bahwa pengelolaan naskah kuno membutuhkan kerja bersama, bukan hanya oleh komunitas, tetapi juga pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Tanpa kolaborasi dan dukungan berkelanjutan, warisan intelektual Sumedang terancam hilang,” ujar Kusnandar.

Lebih lanjut, hasil survei juga memuat enam usulan strategis, meliputi pendataan komprehensif, konservasi dan digitalisasi, transliterasi-terjemahan, edukasi publik, penguatan kolaborasi kelembagaan, serta pengembangan akses terbuka melalui katalog digital.

Temuan ini diharapkan menjadi pijakan bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan kebijakan yang lebih terarah serta membangun sistem pengelolaan naskah kuno yang berkelanjutan di Kabupaten Sumedang.

Diskusi Kolaboratif Preservasi dan Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas

Pusat Preservasi dan Alih Media Bahan Perpustakaan menyelenggarakan Diskusi Kolaboratif Preservasi dan Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas Bersama Nahdlatut Turots Bangkalan & Sraddha Sala Institute pada tanggal 29 Oktober 2025. Diskusi tersebut direkam dan ditayangkan pada video yang diterbitkan oleh Youtube Channel: Preservasi Perpusnas.

Ringkasan Materi Video:

Video ini membahas upaya kolaboratif antara pemerintah, perpustakaan nasional, komunitas, pesantren, dan berbagai institusi dalam preservasi dan digitalisasi naskah kuno Nusantara. Melalui portal Khastara dan program berbasis komunitas seperti Nahdlatut Turots dan Sraddha Sala Institute, dilakukan pelestarian fisik, digitalisasi, katalogisasi, hingga pemanfaatan budaya yang menjaga warisan intelektual bangsa tetap hidup dan relevan bagi generasi masa depan. Selain itu, video juga menampilkan tutorial pembuatan kotak penyimpanan naskah dan perawatan dokumen kuno untuk memperlambat kerusakan fisik, menegaskan pentingnya pelestarian bersama agar identitas budaya dan sejarah bangsa tidak hilang.

Awal dan Konteks Pelestarian Naskah Kuno

  • [00:00] Pelestarian naskah kuno dilakukan secara kolaboratif antar berbagai lembaga dan komunitas dari Aceh hingga Papua, dengan portal Hastara sebagai sarana utama digitalisasi dan diseminasi.
  • [03:00] Mikrofilm sebagai media penyimpanan informasi kuno dari lontar di Sulawesi Selatan didigitisasi untuk menyelamatkan warisan budaya yang terancam hilang akibat kerusakan fisik.
  • [06:00] Koleksi perpustakaan nasional meliputi ribuan naskah kuno, buku langka, surat kabar, foto, peta, dan lukisan sebagai bukti perjalanan sejarah dan peradaban Indonesia, namun menghadapi ancaman kerusakan fisik akibat waktu dan lingkungan.

Strategi dan Peran Kolaborasi dalam Pelestarian

  • [11:00] Pelestarian fisik dan digitalisasi dilakukan oleh konservator, pustakawan, dan komunitas secara profesional dengan tujuan menjaga keaslian dan nilai luhur yang tersimpan dalam naskah.
  • [14:00] Portal Khastara dilengkapi dengan fitur interaktif, pencarian tematik, dan peta persebaran kerusakan, sebagai wujud profesionalisme dan upaya pelestarian budaya digital yang mudah diakses.
  • [17:00] Contoh konkret komunitas Nahdlatut Turots di Bangkalan Madura yang berhasil mendigitalisasi ribuan manuskrip keagamaan sebagai model pelestarian berbasis masyarakat yang didukung pemerintah.

Pelibatan Komunitas Pesantren dan Lembaga Lokal

  • [20:00] Pesantren dan komunitas lokal memegang peranan penting dalam memelihara dan mengelola naskah secara berkelanjutan melalui pendekatan persuasif dan kaderisasi, memadukan tradisi dan teknologi.
  • [22:00] Sraddha Sala Institute di Surakarta menunjukkan bagaimana naskah kuno dapat dijadikan basis riset, pendidikan, hingga pengembangan ekonomi kreatif berbasis warisan budaya Nusantara.
  • [25:00] Pemerintah daerah, seperti Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Tengah, berkolaborasi dengan komunitas dan perguruan tinggi untuk memperkuat pelestarian naskah dari lokus-lokus di seluruh wilayah.

Teknik Preservasi dan Digitalisasi Praktis

  • [28:00] Tutorial pembuatan portepel (kotak penyimpanan khusus) yang dirancang untuk meminimalisir kerusakan naskah dengan bahan dan alat yang mudah didapat serta teknik lem dan pemasangan tali pengikat.
  • [31:00] Perawatan fisik naskah seperti mending (tambal dokumen) menggunakan tisu Jepang dengan serat panjang dan lem khusus untuk memperbaiki robekan dan lubang pada dokumen agar tetap terbaca dan kuat.
  • [33:00] Penjelasan detail teknik laminasi dan trimming dokumen agar dokumen yang sudah diperbaiki dapat awet dan estetis tanpa merusak isi penting naskah.

Tantangan, Solusi, dan Harapan Masa Depan

[42:00] Harapan besar pemerintah dan komunitas agar kolaborasi dilanjutkan dan diperkuat, dengan peran pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan komunitas dalam perawatan lokal, demi menyelamatkan warisan intelektual bangsa secara berkelanjutan.

[36:00] Diskusi panel menyoroti pentingnya akses terbuka dalam pelestarian naskah dan etika menjaga sakralitas teks, serta upaya menjaga agar informasi tetap tersebar luas tanpa merugikan pemilik manuskrip.

[39:00] Kiat merangkul masyarakat untuk menemukan dan melestarikan naskah kuno meliputi sosialisasi, edukasi, dan membangun kepercayaan agar naskah yang dianggap pusaka dapat menjadi pustaka yang bermanfaat secara ilmiah dan budaya.

Hubungan Manusia dengan Alam di Tanah Sunda dalam Tinjauan Al-Qur’an dan Hadits

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI

Abstrak

Kebudayaan Sunda dikenal memiliki pandangan hidup yang sangat menghargai alam. Alam dipandang bukan sekadar sumber kehidupan, melainkan sahabat spiritual dan cerminan kebesaran Sang Pencipta. Artikel ini membahas hubungan manusia dan alam dalam pandangan budaya Sunda, serta meninjaunya dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Hasil kajian menunjukkan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukan hanya nilai budaya, tetapi juga ajaran teologis yang kuat dalam Islam.

Kata kunci: Sunda, Alam, Ekologi Islam, Al-Qur’an, Hadits, Kearifan Lokal.

Pendahuluan
Orang Sunda kerap berkata, “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.” Artinya: jika hutan rusak dan air hilang, maka manusia akan sengsara. Ungkapan ini bukan sekadar peribahasa, tetapi pandangan filosofis yang lahir dari kesadaran ekologis mendalam. Bagi masyarakat Sunda, alam adalah “guru” yang mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan ketertiban hidup. Nilai-nilai ini sejatinya sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah (pemelihara) di bumi. Dalam Al-Qur’an, manusia tidak diperintahkan untuk menaklukkan alam, melainkan mengelola dan menjaga keseimbangannya. “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi.” (QS. Fathir [35]: 39)

Pandangan Alam dalam Falsafah Sunda
Dalam pandangan tradisional Sunda, alam disebut sebagai “karuhun hirup” — leluhur yang hidup, bukan benda mati. Gunung, leuweung (hutan), walungan (sungai), jeung taneuh (tanah) dipandang memiliki ruh dan martabat yang harus dihormati. Pepatah Sunda sering menasihatkan: “Ngajaga leuweung sarua jeung ngajaga diri sorangan.” Menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan sendiri. Sikap ini bukan bentuk penyembahan alam, tetapi ekspresi rasa hormat terhadap ciptaan Tuhan. Alam adalah titipan Gusti, bukan milik manusia sepenuhnya. Dalam konteks ini, pandangan Sunda sejajar dengan prinsip Islam bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 120)

Manusia sebagai Khalifah dan Amanah Ekologis
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk beribadah dalam arti ritual, tetapi juga untuk menjaga bumi sebagai amanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Khalifah berarti pemimpin yang bertanggung jawab — bukan penguasa yang sewenang-wenang. Dalam konteks budaya Sunda, nilai ini terwujud dalam konsep “silih asih, silih asah, silih asuh” — hidup dengan kasih, belajar bersama, dan saling menjaga, termasuk menjaga lingkungan sekitar.

Alam sebagai Ayat Kauniyah
Baik dalam budaya Sunda maupun Islam, alam dilihat sebagai tanda kebesaran Tuhan (ayat kauniyah). Gunung, hujan, dan tumbuhan menjadi simbol keteraturan dan kasih sayang Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.”(QS. Ali ‘Imran [3]: 190). Orang Sunda memaknai hal ini dengan pendekatan rasa: ngarasakeun alam — merasakan, bukan sekadar melihat. Rasa hormat terhadap alam adalah bentuk dzikir budaya; yaitu mengingat Tuhan lewat ciptaan-Nya.

Hadits tentang Etika Alam
Rasulullah ﷺ mencontohkan akhlak ekologis dalam banyak hadits. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau binatang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 2320, Muslim no. 1553). Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya“. (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Nilai-nilai ini sangat dekat dengan filosofi Sunda tentang tata titi duduga peryoga — berbuat sesuatu dengan hati-hati, tidak merusak keseimbangan, dan selalu mempertimbangkan akibat terhadap alam dan sesama makhluk.

Harmoni sebagai Landasan Spiritualitas
Hubungan manusia dan alam di tanah Sunda berlandaskan prinsip harmoni: manusa, alam, jeung Gusti berada dalam satu kesatuan kosmis.
Islam pun menegaskan bahwa semua makhluk bertasbih kepada Allah: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kamu tidak memahami tasbih mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: 44). Maka, ketika manusia menjaga alam, ia sesungguhnya sedang menghormati makhluk lain yang juga sedang beribadah. Kerusakan alam berarti mengganggu harmoni tasbih semesta.

Kesimpulan
Hubungan manusia dengan alam dalam pandangan Sunda dan Islam berangkat dari prinsip yang sama: keseimbangan, penghormatan, dan tanggung jawab. Masyarakat Sunda mengenal konsep “leuweung hejo, cai hérang, manusa ngarumat” — hutan hijau, air jernih, manusia pemelihara. Islam menegaskan prinsip yang sama melalui ayat dan hadits tentang khalifah, larangan merusak bumi, dan anjuran menanam serta berbuat baik terhadap makhluk hidup. Maka, menyatukan nilai-nilai budaya Sunda dan ajaran Islam bukanlah hal baru, melainkan kembali pada akar keislaman Nusantara yang menjunjung tinggi harmoni antara iman, ilmu, dan alam.

Daftar Rujukan

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
  3. Nasr, S. H. (1993). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
  4. Tim BPNB Jawa Barat. (2019). Nilai-Nilai Ekologis dalam Tradisi Sunda. Bandung: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
  5. Danasasmita, S. (1986). Filsafat Hidup Orang Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Sunda.

Catatan Reflektif:
Tulisan ini bisa diakhiri dengan kutipan pribadi seperti: “Menjaga alam bukan hanya kewajiban budaya, tetapi ibadah yang menghidupkan jiwa. Alam adalah kitab Allah yang terbentang luas di Tanah Sunda.
— Mahdi, Rumah Literasi BERSERI

Diskusi Kritis Buku Wijaya: Wacana Kritis Sejarah Hubungan Majapahit dan Padjadjaran

Sebuah tayangan video yang diterbitkan oleh Youtube Channel: HUMAS FISIP Unpad tentang Seminar Nasional bertema “Diskusi Kritis Buku Wijaya: Visual Majapahit” yang membahas wacana kritis seputar sejarah dan polemik hubungan Majapahit & Padjadjaran — dari masa lalu, kini, hingga masa depan — bersama Penulis dan Penerbit Serta para narasumber yang Ahli di bidang sejarah.