Tak Luput Batu Karut: Dari Kaki Gunung Tampomas, Tumbuh Gagasan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Kabut tipis menyelimuti kaki Gunung Tampomas ketika fajar datang di Dusun Batu Karut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Suara burung berpadu dengan gemericik air sawah, seolah membangunkan kesadaran bahwa kehidupan di sini berjalan dalam irama sederhana — penuh doa, kerja, dan kasih sayang. Batu Karut bukan hanya tempat, tetapi ruang nilai. Ia menjadi saksi bagaimana masyarakatnya menanamkan keimanan dan ilmu pengetahuan dengan tulus, menumbuhkan generasi yang cinta pada tanah kelahirannya.

Puisi yang Tumbuh dari Tanah Kelahiran
Dari suasana inilah lahir puisi berjudul “Tak Luput Batu Karut”, karya Mahdi, seorang pegiat literasi dan pendidikan yang menuliskan refleksinya tentang tanah tempat ia dibesarkan.

“Di sini aku dibesarkan,
Jelang tahun kedua belas,
Sejak rasa cinta dipertemukan,
Dalam seduhan kopi panas.”

Puisi ini bukan sekadar kenangan, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai pendidikan, religiusitas, dan kasih sayang yang berakar kuat di Batu Karut. Lewat kata-katanya, Mahdi menghidupkan kembali semangat masyarakat yang memaknai pendidikan bukan sekadar ruang belajar, tetapi jalan pengabdian.

Wa Een dan Bapak Presiden: Jejak Kasih dalam Pembangunan
Bagian lain dari puisi itu juga merekam penghormatan kepada dua tokoh penting: Wa Een Sukaesih almarhumah, guru pejuang asal Batu Karut, dan Bapak Presiden, yang berjasa mendukung pembangunan dan pendidikan di wilayah tersebut.

“Wa Een dan Bapak Presiden,
Jasa-jasamu tak terlupakan,
Membangun Batu Karut,
Menjunjung Batu Karut.”

Wa Een dikenal dengan pesan moral yang sederhana namun dalam: “Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.” Pesan itu kemudian menjadi filosofi yang menjiwai perjalanan lembaga-lembaga pendidikan di Batu Karut hingga kini.

Tiga Lembaga, Satu Semangat
Dari semangat itu, lahirlah sejumlah lembaga yang menjadi pusat pembelajaran di kaki Gunung Tampomas:

  1. Kober Al-Barokah, sebagai ruang awal tumbuhnya karakter anak-anak usia dini dengan nilai religius dan sosial.
  2. RA Taman Cendikia, lembaga pendidikan anak usia dini yang menanamkan dasar kecerdasan dan kreativitas dengan pendekatan kasih sayang.
  3. LPK Prestatif, lembaga pelatihan keterampilan yang mendorong pemuda untuk mandiri dan berdaya saing, membawa semangat belajar sepanjang hayat.

Ketiganya berdiri di bawah naungan nilai yang sama — pendidikan yang berakar dari cinta, dikelola dengan kebersamaan masyarakat, dan diarahkan untuk kemajuan generasi Batu Karut.


Batu yang Mengerut, Tapi Tak Pernah Luput
Dalam puisinya, Mahdi menulis:

“Batu Karut adalah batu yang mengerut,
Tak pernah luput dari bentukmu,
Di Batu Karut ada ucapan Wa Een,
Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.”

Simbol “batu yang mengerut” mengandung makna keteguhan dan keabadian. Batu Karut menjadi metafora bagi kekuatan masyarakatnya — mungkin kecil, tapi kokoh dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di tengah perubahan zaman.

Pendidikan yang Mengakar di Kaki Gunung Tampomas
Di dusun yang dikelilingi sawah dan pepohonan ini, pendidikan bukan hanya kegiatan formal di ruang kelas, tetapi cara hidup. Anak-anak belajar membaca di serambi masjid, para ibu mengajarkan doa di sela menanak nasi, dan para ayah menanam nilai kerja keras di ladang mereka. Masjid Al-Barokah, Rumah Pintar Al-Barokah, DTA Nurul Iman, hingga LPK Prestatif dan RA Taman Cendikia — semuanya menjadi simpul dari cita-cita yang sama: membangun manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.

Menanam Kasih, Menumbuhkan Peradaban
Batu Karut mengajarkan bahwa pendidikan tidak lahir dari kemewahan, tetapi dari keikhlasan. Dari tempat sederhana di kaki Gunung Tampomas ini, tumbuh gagasan besar: bahwa kasih sayang adalah fondasi sejati dalam mendidik manusia. Pesan itu diabadikan Mahdi dalam puisinya, dan terus dihidupkan oleh para guru, santri, dan warga Batu Karut — sebagai warisan nilai yang tak lekang oleh waktu.

Penutup
Puisi “Tak Luput Batu Karut” bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen kultural yang merekam sejarah pendidikan berbasis kasih sayang di kaki Gunung Tampomas. Melalui karya dan keteladanan, Mahdi dan masyarakat Batu Karut menunjukkan bahwa cinta kepada tempat kelahiran dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk membangun peradaban. Dari batu yang mengerut, lahir jiwa yang lembut. Dari kasih yang ditanam, tumbuh generasi yang berilmu dan beriman.

2 komentar pada “Tak Luput Batu Karut: Dari Kaki Gunung Tampomas, Tumbuh Gagasan Pendidikan Berbasis Kasih Sayang

  • Oktober 24, 2025 pada 3:44 pm
    Permalink

    Keren Pak👍
    Setiap membaca atau mendengar nama Wa Een hati saya selalu bergetar,meskipun Saya bukan asli orang Sumedang tapi Saya sangat bangga dengan beliau.Pendidikan berbasis Kasih Sayang itu memang nyata bagi Wa Een, semoga hal itu dapat diimplementasikan oleh kita semua.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *