Tulisan yang memuat segala hal tentang pengelolaan naskah kuno, meliputi antara lain: inventarisasi naskah kuno, preservasi naskah kuno, dan utilisasi naskah kuno. Pada bagian artikel ini juga bisa memuat tema-tema lain, diantaranya: literasi, pendidikan, sejarah, kekayaan alam, serta ragam budaya di Kabupaten Sumedang
Pepeling Prabu Tajimalela merupakan salah satu warisan kultural penting dalam kebudayaan Sunda, khususnya di wilayah Sumedang Larang. Amanat yang terkenal melalui pesannya, “Ingsun titip tajug, Ingsun titip jalan”, tidak hanya berisi perintah menjaga tempat ibadah dan moralitas sosial, tetapi juga menyimpan pesan filosofis tentang tata kehidupan, etika sosial, dan nilai-nilai budaya. Artikel ini membahas makna pepeling Tajimalela dari perspektif sosial-budaya serta relevansinya bagi kehidupan masyarakat masa kini.
Pendahuluan
Di antara para pemimpin leluhur Sunda, Prabu Tajimalela adalah tokoh yang namanya paling sering muncul dalam sejarah Sumedang Larang. Meskipun catatan tertulis kunonya tidak banyak, pesan-pesan kehidupan yang diwariskannya hidup dalam tradisi lisan dan adat masyarakat. Pepeling ini menjadi pedoman moral yang terus berjalan lintas generasi, sekaligus simbol identitas lokal.
Makna Filosofis Pepeling Tajimalela
“Ingsun titip tajug”
“Tajug” bukan hanya bangunan tempat ibadah. Dalam pandangan budaya Sunda, tajug melambangkan:
Kesucian batin;
Nilai ketauhidan; serta
Adab keberagamaan.
Pesan ini bermakna bahwa masyarakat hendaknya menjaga:
Kesucian ajaran agama;
Pendidikan moral dan spiritual;serta
Nilai-nilai adab dalam kehidupan sehari-hari.
“Ingsun titip jalan”
“Jalan” bukan hanya ruang fisik. Ia merupakan simbol dari:
Jalur kebaikan;
Etika pergaulan;
Aturan sosial;serta
Moralitas publik.
Pesan ini menegaskan bahwa kerusakan moral akan membawa kerusakan sosial, dan masyarakat harus menjaga arah hidupnya tetap berada pada nilai-nilai kebaikan.
Relevansi Pepeling dalam Kehidupan Modern
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, masyarakat menghadapi berbagai tantangan berupa:
Melemahnya etika sosial;
Menurunnya sopan santun;
Lunturnya rasa hormat antar generasi;
Meningkatnya individualisme.
Pepeling Tajimalela mengingatkan bahwa identitas masyarakat Sunda dibangun atas fondasi nilai budi pekerti, tradisi gotong royong, serta penghormatan kepada sesama.
Pepeling sebagai Identitas Lokal
Di Sumedang, pepeling ini hadir dalam:
Ajaran dan petuah kasepuhan;
Tradisi adat;
Narasi sejarah lokal; serta
Praktik sosial sehari-hari.
Keberadaannya menegaskan bahwa masyarakat Sumedang memiliki karakter religius, berbudaya, serta menjunjung tinggi adab dan nilai kemanusiaan.
Kesimpulan
Pepeling Prabu Tajimalela bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi sistem nilai yang relevan untuk membangun karakter masyarakat masa kini. Ajakan menjaga “tajug” dan “jalan” adalah ajakan menjaga moral, iman, dan etika, sehingga masyarakat tetap kuat menghadapi perubahan zaman.
Kebudayaan Sunda dikenal memiliki pandangan hidup yang sangat menghargai alam. Alam dipandang bukan sekadar sumber kehidupan, melainkan sahabat spiritual dan cerminan kebesaran Sang Pencipta. Artikel ini membahas hubungan manusia dan alam dalam pandangan budaya Sunda, serta meninjaunya dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Hasil kajian menunjukkan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukan hanya nilai budaya, tetapi juga ajaran teologis yang kuat dalam Islam.
Kata kunci: Sunda, Alam, Ekologi Islam, Al-Qur’an, Hadits, Kearifan Lokal.
Pendahuluan Orang Sunda kerap berkata, “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.” Artinya: jika hutan rusak dan air hilang, maka manusia akan sengsara. Ungkapan ini bukan sekadar peribahasa, tetapi pandangan filosofis yang lahir dari kesadaran ekologis mendalam. Bagi masyarakat Sunda, alam adalah “guru” yang mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan ketertiban hidup. Nilai-nilai ini sejatinya sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah (pemelihara) di bumi. Dalam Al-Qur’an, manusia tidak diperintahkan untuk menaklukkan alam, melainkan mengelola dan menjaga keseimbangannya. “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi.” (QS. Fathir [35]: 39)
Pandangan Alam dalam Falsafah Sunda Dalam pandangan tradisional Sunda, alam disebut sebagai “karuhun hirup” — leluhur yang hidup, bukan benda mati. Gunung, leuweung (hutan), walungan (sungai), jeung taneuh (tanah) dipandang memiliki ruh dan martabat yang harus dihormati. Pepatah Sunda sering menasihatkan: “Ngajaga leuweung sarua jeung ngajaga diri sorangan.” Menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan sendiri. Sikap ini bukan bentuk penyembahan alam, tetapi ekspresi rasa hormat terhadap ciptaan Tuhan. Alam adalah titipan Gusti, bukan milik manusia sepenuhnya. Dalam konteks ini, pandangan Sunda sejajar dengan prinsip Islam bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 120)
Manusia sebagai Khalifah dan Amanah Ekologis Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk beribadah dalam arti ritual, tetapi juga untuk menjaga bumi sebagai amanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Khalifah berarti pemimpin yang bertanggung jawab — bukan penguasa yang sewenang-wenang. Dalam konteks budaya Sunda, nilai ini terwujud dalam konsep “silih asih, silih asah, silih asuh” — hidup dengan kasih, belajar bersama, dan saling menjaga, termasuk menjaga lingkungan sekitar.
Alam sebagai Ayat Kauniyah Baik dalam budaya Sunda maupun Islam, alam dilihat sebagai tanda kebesaran Tuhan (ayat kauniyah). Gunung, hujan, dan tumbuhan menjadi simbol keteraturan dan kasih sayang Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.”(QS. Ali ‘Imran [3]: 190). Orang Sunda memaknai hal ini dengan pendekatan rasa: ngarasakeun alam — merasakan, bukan sekadar melihat. Rasa hormat terhadap alam adalah bentuk dzikir budaya; yaitu mengingat Tuhan lewat ciptaan-Nya.
Hadits tentang Etika Alam Rasulullah ﷺ mencontohkan akhlak ekologis dalam banyak hadits. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau binatang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 2320, Muslim no. 1553). Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya“. (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Nilai-nilai ini sangat dekat dengan filosofi Sunda tentang tata titi duduga peryoga — berbuat sesuatu dengan hati-hati, tidak merusak keseimbangan, dan selalu mempertimbangkan akibat terhadap alam dan sesama makhluk.
Harmoni sebagai Landasan Spiritualitas Hubungan manusia dan alam di tanah Sunda berlandaskan prinsip harmoni: manusa, alam, jeung Gusti berada dalam satu kesatuan kosmis. Islam pun menegaskan bahwa semua makhluk bertasbih kepada Allah: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kamu tidak memahami tasbih mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: 44). Maka, ketika manusia menjaga alam, ia sesungguhnya sedang menghormati makhluk lain yang juga sedang beribadah. Kerusakan alam berarti mengganggu harmoni tasbih semesta.
Kesimpulan Hubungan manusia dengan alam dalam pandangan Sunda dan Islam berangkat dari prinsip yang sama: keseimbangan, penghormatan, dan tanggung jawab. Masyarakat Sunda mengenal konsep “leuweung hejo, cai hérang, manusa ngarumat” — hutan hijau, air jernih, manusia pemelihara. Islam menegaskan prinsip yang sama melalui ayat dan hadits tentang khalifah, larangan merusak bumi, dan anjuran menanam serta berbuat baik terhadap makhluk hidup. Maka, menyatukan nilai-nilai budaya Sunda dan ajaran Islam bukanlah hal baru, melainkan kembali pada akar keislaman Nusantara yang menjunjung tinggi harmoni antara iman, ilmu, dan alam.
Daftar Rujukan
Al-Qur’an al-Karim
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
Nasr, S. H. (1993). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Tim BPNB Jawa Barat. (2019). Nilai-Nilai Ekologis dalam Tradisi Sunda. Bandung: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Danasasmita, S. (1986). Filsafat Hidup Orang Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Sunda.
Catatan Reflektif: Tulisan ini bisa diakhiri dengan kutipan pribadi seperti: “Menjaga alam bukan hanya kewajiban budaya, tetapi ibadah yang menghidupkan jiwa. Alam adalah kitab Allah yang terbentang luas di Tanah Sunda.” — Mahdi, Rumah Literasi BERSERI
Rumah Pintar Al-Barokah: Warisan Luhur Guru Qolbu Een Sukaesih di Batu Karut
Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang
Dusun Batu Karut RT 01 RW 06, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
Kabut tipis menyelimuti Dusun Batu Karut di pagi hari. Embun menempel di daun-daun hijau, sawah memantulkan cahaya mentari pagi seperti permadani hijau keemasan, sementara kolam ikan memantulkan sinar hangat dari balik lereng Gunung Tampomas. Aroma tanah basah bercampur wangi pepohonan menciptakan udara segar yang menenangkan jiwa.
Di tengah suasana damai itu, terdengar suara riang anak-anak yang memenuhi halaman Rumah Pintar Al-Barokah, warisan luhur dari Guru Qolbu Een Sukaesih almarhumah. Di sinilah generasi muda Batu Karut belajar, bermain, dan menemukan cahaya pengetahuan yang diwariskan oleh sang guru.
Pak Guru Mahdi, pengelola Rumah Pintar sekaligus guru literasi yang aktif berinteraksi dengan warga, menyapa anak-anak sambil menyiapkan buku dan alat tulis.
“Selamat pagi, Satria, Rafan, Delia Putri, Tantan, Rangga, Shidiq, Nofal, Farhan,” sapa Pak Guru Mahdi hangat. “Hari ini kita belajar sambil mengenal alam sekitar kampung.”
Di dekat kolam, Abah Edod sedang memeriksa ikan dan menjelaskan cara memberi pakan. “Nak, kalau kita merawat kolam dengan tekun, ikan akan sehat. Sama seperti menanam padi,” ujarnya sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Pak Edod!” seru anak-anak serentak.
“Selamat pagi, Nak! Hari ini kita belajar menjaga kolam dan sawah sekaligus,” jawab Abah Edod.
Tak jauh dari situ, Mang Jajang Taryana, juragan ikan bawal, memberi pakan pada kolam bawalnya yang besar. “Pagi, Pak Jajang!” sapa Abah Edod.
“Pagi, Pak Edod! Anak-anak ingin lihat ikan bawal kan? Hari ini kita tunjukkan cara merawat ikan biar sehat dan gemuk,” jawab Mang Jajang sambil tersenyum.
Sementara itu, anak-anak di halaman Rumah Pintar menanam sayuran di polybag. Mereka menghitung bibit, menulis nama tanaman, dan saling membantu. Pak Guru Mahdi membimbing mereka dengan sabar, menjelaskan pentingnya menjaga tanaman agar tetap subur dan ramah lingkungan.
“Rumah Pintar ini penting bagi Batu Karut,” kata Abah Taya, tokoh tua kampung, sambil menepuk pundak Satria. “Selain membaca dan menulis, anak-anak belajar mencintai alam—air, sawah, dan ikan. Semua bagian dari kehidupan.”
Di bangku bambu tepi kolam, Pak Guru Mahdi menikmati suara cicit burung, gemericik air, dan tawa anak-anak yang berpadu harmonis. Mang Nanang menyeduh kopi hangat untuk tetangga yang datang dari sawah, sambil tersenyum melihat anak-anak belajar.
Sore Hari di Rumah Pintar: Delia Putri dan Teman-Temannya
Sore itu, sinar matahari menembus sela-sela pepohonan, menyinari halaman Rumah Pintar. Delia Putri, salah satu murid, duduk di bawah pohon kecil sambil membaca buku cerita bergambar dan mencatat hal-hal menarik di buku catatannya.
“Di sini, saya merasa bebas belajar dan mencoba hal baru,” kata Delia sambil tersenyum malu-malu.
Teman-temannya—Sinta, Tantri, Euis, Wina, Febriani, Tiara Rizki, Cindy, Candra, Teguh, Upit, Ega, Eni, dan Haris—bergabung dengannya. Mereka belajar, bermain, dan mengeksplorasi kreativitas bersama. Rumah Pintar Al-Barokah bukan sekadar tempat membaca dan menulis; di sini anak-anak belajar persahabatan, gotong royong, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Percakapan mereka penuh canda dan tawa:
Delia: “Eh, teman-teman, kalian lihat ini gambar naga di bukuku? Seru banget kan?”
Sinta: “Wah, keren! Aku suka warna merahnya, Delia!”
Tantri: “Aku juga pengen punya buku cerita kayak gitu. Bisa minta pinjam nggak, Delia?”
Delia: “Boleh banget. Nanti habis baca, kita tukar-tukaran cerita ya.”
Euis: “Aku tadi bikin poster tentang gotong royong. Mau aku tunjukkan?”
Tiara Rizki: “Beneran deh, kalau semua poster digantung di sini, Rumah Pintar Al-Barokah bakal makin ramai.”
Cindy: “Setelah ini kita bisa menanam tanaman juga, kan? Aku mau tanam bunga.”
Candra: “Aku mau bantu bikin papan nama untuk bunga-bunga itu!”
Teguh: “Aku sama Upit mau bersihin halaman biar tempat belajar kita makin nyaman.”
Upit: “Setuju, ayo kita mulai sekarang!”
Ega: “Delia, nanti kita bikin cerita bareng ya. Aku mau jadi tokoh utama!”
Eni: “Aku bisa jadi ilustratornya!”
Haris: “Aku bantu bikin latar belakang ceritanya. Biar ceritanya lengkap.”
Delia: “Asik banget! Kalau gitu, sore ini kita bikin cerita bareng dan setelahnya bisa baca buku lagi. Rumah Pintar Al-Barokah memang tempat paling seru!”
Pak Guru Mahdi menjelaskan, “Ibu Qolbu Een ingin setiap anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki hati yang lembut dan karakter yang kuat. Rumah Pintar ini adalah warisan beliau yang hidup setiap hari melalui anak-anak dan warga sekitar.”
Kegiatan di Rumah Pintar berlangsung beragam: membaca buku, menulis kreatif, membuat kerajinan tangan, hingga kegiatan seni dan budaya lokal. Anak-anak juga dilibatkan dalam menanam tanaman, membuat poster, dan kegiatan gotong royong, menanamkan nilai kepedulian dan kerja sama.
Belajar di Alam dan Musim Hujan
Beberapa minggu kemudian, hujan turun membasahi atap bambu Rumah Pintar dan sawah di sekitarnya. Suara gemericik air menyatu dengan tawa anak-anak yang bermain di sawah dan tepi kolam.
“Pak Guru Mahdi, air sawah penuh! Ikan-ikan senang sekali,” seru Satria sambil melompat, diikuti Delia Putri dan Rafan.
“Betul, Nak. Alam ini memberi kita banyak pelajaran. Lihat, air hujan menjaga sawah dan kolam tetap hidup,” jawab Pak Guru Mahdi.
Abah Edod mengajak anak-anak menanam bibit padi di tanah basah. “Ingat, anak-anak, kita harus sabar dan telaten. Alam tidak terburu-buru, begitu pula kita,” ucapnya.
Di kolam bawal, Mang Jajang Taryana menjelaskan, “Air jernih dan oksigen cukup membuat ikan tumbuh sehat. Kalau kalian mau sukses, pelajari alam sebelum memulai usaha.”
Suasana belajar berpadu dengan bermain: menanam, memberi makan ikan, dan menjaga kebersihan lingkungan. Suara tawa mereka berpadu dengan gemericik air, menciptakan harmoni alami.
Musim Kemarau dan Gotong Royong
Saat kemarau tiba, anak-anak belajar mengelola air untuk sawah dan kolam. Abah Edod mengajari menutup saluran irigasi, menabung air hujan, dan memindahkan ikan ke kolam yang lebih kecil agar tetap aman.
“Lihat Nak, air tidak boleh diboroskan. Alam memberi pelajaran tentang hemat dan tanggung jawab,” ujar Abah Edod.
Pak Guru Mahdi juga mengajarkan anak-anak menulis cerita pengalaman di kampung, membaca buku, dan mencatat hal-hal menarik. Gotong-royong menjadi bagian keseharian: membersihkan kolam, menyiapkan Rumah Pintar, dan merawat kebun bersama warga.
Nilai Pendidikan dan Tradisi
Di Rumah Pintar Al-Barokah, anak-anak belajar membaca, menulis, berkebun, menjaga kolam ikan, serta mengenal budaya Sunda. Pak Guru Mahdi menekankan pendidikan bukan hanya tentang buku, tetapi juga memahami lingkungan dan menghargai orang lain.
Abah Taya selalu hadir memberikan cerita sejarah kampung dan nasihat bijak. “Anak-anak, Batu Karut subur dan damai karena kita saling menghargai. Jagalah alam dan budaya kalian,” katanya.
Mang Jajang Taryana mengajarkan anak-anak tentang usaha dan ketekunan. Mereka belajar bahwa kerja keras, cinta alam, dan kebersamaan adalah kunci hidup yang sukses.
Sore Hari dan Cahaya Warisan Guru Qolbu Een
Saat matahari condong ke barat, sawah memantulkan cahaya jingga lembut, kolam berkilau, dan anak-anak pulang dari Rumah Pintar. Suasana damai menenangkan hati.
“Pak Guru Mahdi, datanglah kapan saja. Batu Karut dan Rumah Pintar selalu menunggu kami yang ingin belajar dan mencintai alam,” kata anak-anak tersenyum.
Abah Edod menepuk pundak Satria, “Kalau kita rajin, kolam ikan dan sawah selalu subur. Anak-anak, ini pelajaran hidup yang tidak akan kalian lupakan.”
Mang Jajang menambahkan, “Ini juga pelajaran, Nak. Kalau dikerjakan dengan tekun, ikan bawal bisa menjadi sumber penghidupan keluarga.”
Abah Taya menutup hari dengan nasihat bijak, “Hidup di Batu Karut berarti hidup berdampingan dengan alam dan orang-orang. Jagalah nilai ini, Nak, agar kampung tetap damai.
Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang
Kabut tipis menyelimuti kaki Gunung Tampomas ketika fajar datang di Dusun Batu Karut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Suara burung berpadu dengan gemericik air sawah, seolah membangunkan kesadaran bahwa kehidupan di sini berjalan dalam irama sederhana — penuh doa, kerja, dan kasih sayang. Batu Karut bukan hanya tempat, tetapi ruang nilai. Ia menjadi saksi bagaimana masyarakatnya menanamkan keimanan dan ilmu pengetahuan dengan tulus, menumbuhkan generasi yang cinta pada tanah kelahirannya.
Puisi yang Tumbuh dari Tanah Kelahiran Dari suasana inilah lahir puisi berjudul “Tak Luput Batu Karut”, karya Mahdi, seorang pegiat literasi dan pendidikan yang menuliskan refleksinya tentang tanah tempat ia dibesarkan.
“Di sini aku dibesarkan, Jelang tahun kedua belas, Sejak rasa cinta dipertemukan, Dalam seduhan kopi panas.”
Puisi ini bukan sekadar kenangan, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai pendidikan, religiusitas, dan kasih sayang yang berakar kuat di Batu Karut. Lewat kata-katanya, Mahdi menghidupkan kembali semangat masyarakat yang memaknai pendidikan bukan sekadar ruang belajar, tetapi jalan pengabdian.
Wa Een dan Bapak Presiden: Jejak Kasih dalam Pembangunan Bagian lain dari puisi itu juga merekam penghormatan kepada dua tokoh penting: Wa Een Sukaesih almarhumah, guru pejuang asal Batu Karut, dan Bapak Presiden, yang berjasa mendukung pembangunan dan pendidikan di wilayah tersebut.
“Wa Een dan Bapak Presiden, Jasa-jasamu tak terlupakan, Membangun Batu Karut, Menjunjung Batu Karut.”
Wa Een dikenal dengan pesan moral yang sederhana namun dalam: “Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.” Pesan itu kemudian menjadi filosofi yang menjiwai perjalanan lembaga-lembaga pendidikan di Batu Karut hingga kini.
Tiga Lembaga, Satu Semangat Dari semangat itu, lahirlah sejumlah lembaga yang menjadi pusat pembelajaran di kaki Gunung Tampomas:
Kober Al-Barokah, sebagai ruang awal tumbuhnya karakter anak-anak usia dini dengan nilai religius dan sosial.
RA Taman Cendikia, lembaga pendidikan anak usia dini yang menanamkan dasar kecerdasan dan kreativitas dengan pendekatan kasih sayang.
LPK Prestatif, lembaga pelatihan keterampilan yang mendorong pemuda untuk mandiri dan berdaya saing, membawa semangat belajar sepanjang hayat.
Ketiganya berdiri di bawah naungan nilai yang sama — pendidikan yang berakar dari cinta, dikelola dengan kebersamaan masyarakat, dan diarahkan untuk kemajuan generasi Batu Karut.
Batu yang Mengerut, Tapi Tak Pernah Luput Dalam puisinya, Mahdi menulis:
“Batu Karut adalah batu yang mengerut, Tak pernah luput dari bentukmu, Di Batu Karut ada ucapan Wa Een, Pendidikan harus Berbasis Kasih Sayang.”
Simbol “batu yang mengerut” mengandung makna keteguhan dan keabadian. Batu Karut menjadi metafora bagi kekuatan masyarakatnya — mungkin kecil, tapi kokoh dalam mempertahankan nilai-nilai luhur di tengah perubahan zaman.
Pendidikan yang Mengakar di Kaki Gunung Tampomas Di dusun yang dikelilingi sawah dan pepohonan ini, pendidikan bukan hanya kegiatan formal di ruang kelas, tetapi cara hidup. Anak-anak belajar membaca di serambi masjid, para ibu mengajarkan doa di sela menanak nasi, dan para ayah menanam nilai kerja keras di ladang mereka. Masjid Al-Barokah, Rumah Pintar Al-Barokah, DTA Nurul Iman, hingga LPK Prestatif dan RA Taman Cendikia — semuanya menjadi simpul dari cita-cita yang sama: membangun manusia yang berilmu dan berakhlak mulia.
Menanam Kasih, Menumbuhkan Peradaban Batu Karut mengajarkan bahwa pendidikan tidak lahir dari kemewahan, tetapi dari keikhlasan. Dari tempat sederhana di kaki Gunung Tampomas ini, tumbuh gagasan besar: bahwa kasih sayang adalah fondasi sejati dalam mendidik manusia. Pesan itu diabadikan Mahdi dalam puisinya, dan terus dihidupkan oleh para guru, santri, dan warga Batu Karut — sebagai warisan nilai yang tak lekang oleh waktu.
Penutup Puisi “Tak Luput Batu Karut” bukan hanya karya sastra, tetapi juga dokumen kultural yang merekam sejarah pendidikan berbasis kasih sayang di kaki Gunung Tampomas. Melalui karya dan keteladanan, Mahdi dan masyarakat Batu Karut menunjukkan bahwa cinta kepada tempat kelahiran dapat menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk membangun peradaban. Dari batu yang mengerut, lahir jiwa yang lembut. Dari kasih yang ditanam, tumbuh generasi yang berilmu dan beriman.
Di tengah tantangan modern yang mengancam kelestarian budaya, Indonesia terus memperkuat upaya pelestarian warisan intelektualnya. Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2024 tentang Pendaftaran dan Penghargaan Naskah Kuno, yang ditetapkan pada 31 Desember 2024 oleh Kepala Perpustakaan Nasional, menjadi langkah penting dalam menjaga dokumen-dokumen berharga ini. Naskah kuno, didefinisikan sebagai tulisan tangan berumur minimal 50 tahun dengan nilai sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan, dianggap sebagai pondasi peradaban bangsa. Peraturan ini menggantikan aturan lama tahun 2014, menyesuaikan dengan kebutuhan terkini untuk mencegah kepunahan naskah dan memotivasi masyarakat dalam penyimpanan serta penyebarluasannya.
Peraturan ini lahir dari pengakuan bahwa naskah kuno bukan hanya artefak masa lalu, melainkan sumber inspirasi bagi generasi sekarang dan mendatang. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dan regulasi terkait, penyelenggaraannya ditangani oleh Perpustakaan Nasional melalui unit pengelolaan naskah kuno. Dibentuk tim khusus yang terdiri dari pengarah (Kepala Perpustakaan Nasional), penanggung jawab (pejabat tinggi madya), ketua (pejabat tinggi pratama), sekretaris, dan anggota dari pustakawan, filolog, serta konservator. Tim ini bertugas memeriksa administrasi, verifikasi data, publikasi, dan seleksi untuk penghargaan, memastikan proses transparan dan profesional.
Fokus utama peraturan adalah pendaftaran naskah kuno, yang dapat diajukan oleh pemohon seperti perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, atau swasta—bahkan melalui kuasa dengan format surat resmi. Kriteria pendaftaran ketat: naskah harus tulisan tangan asli, berumur di atas 50 tahun, bernilai tinggi, tidak diperjualbelikan, dan bebas sengketa. Data yang diperlukan mencakup identitas pemilik dan detail naskah, seperti judul, bahasa, bahan, ukuran, dan kondisi. Prosesnya berjenjang: mulai dari pengusulan (langsung atau online melalui situs resmi), pemeriksaan administrasi untuk kelengkapan, verifikasi kebenaran data oleh tim (termasuk kunjungan lapangan jika perlu), hingga pencatatan dengan pemberian Nomor Registrasi Nasional unik. Verifikasi meliputi pemeriksaan fisik, identitas, dan kepemilikan, dengan hasil berupa sertifikat resmi yang diterbitkan dalam waktu maksimal 50 hari kerja.
Tak berhenti di pendaftaran, peraturan ini juga mengatur penghargaan sebagai bentuk apresiasi bagi pihak yang berjasa dalam pelestarian. Penghargaan diberikan secara nasional, dengan kategori seperti individu, lembaga, atau kelompok yang telah menyimpan, merawat, dan menyebarluaskan naskah. Prosesnya mencakup pendaftaran usulan, verifikasi oleh tim, penilaian oleh juri independen berdasarkan kriteria seperti kontribusi, inovasi, dan dampak sosial, hingga penetapan pemenang oleh Kepala Perpustakaan Nasional. Penghargaan bisa berupa sertifikat, plakat, atau insentif lain, dengan pengumuman tahunan untuk mendorong partisipasi masyarakat. Sistem informasi terintegrasi digunakan untuk mempublikasikan data naskah terdaftar, memfasilitasi akses publik dan kolaborasi antarlembaga.
Pendanaan peraturan ini bersumber dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya, memastikan keberlanjutan program. Selain itu, ada ketentuan tentang pembinaan, seperti sosialisasi, pelatihan, dan monitoring, serta integrasi dengan sistem informasi untuk efisiensi. Peraturan ini juga menekankan peran daerah, dengan perpustakaan provinsi dan kabupaten/kota sebagai mitra dalam pendataan dan verifikasi awal.
Secara keseluruhan, Peraturan Nomor 16 Tahun 2024 ini bukan hanya kerangka hukum, melainkan katalisator untuk membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya naskah kuno. Di era digital, di mana alih media menjadi kunci aksesibilitas, aturan ini memastikan warisan budaya Indonesia tetap hidup, mencegah hilangnya pengetahuan berharga akibat kelalaian atau bencana. Dengan implementasi yang kuat, Indonesia bisa menjadi pemimpin regional dalam pelestarian dokumenter, menginspirasi generasi muda untuk menghargai akar sejarah mereka.
Di tengah arus modernisasi yang pesat, Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang melimpah terus berupaya menjaga akar sejarahnya. Salah satu bentuk upaya tersebut tercermin dalam Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Naskah Kuno, yang ditetapkan pada 3 September 2024 oleh Plt. Kepala Perpustakaan Nasional, E. Aminudin Aziz. Peraturan ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan komitmen nasional untuk melindungi naskah-naskah kuno—dokumen tulisan tangan berumur minimal 50 tahun yang menyimpan nilai kebudayaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Seperti yang diungkapkan dalam pertimbangan peraturan, naskah kuno adalah karya intelektual yang menjadi pondasi peradaban bangsa, dan tanpa pelestarian yang sistematis, mereka rentan terhadap kerusakan atau bahkan kepunahan.
Peraturan ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk memberikan landasan hukum yang kuat, mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan serta peraturan pemerintah terkait lainnya. Di dalamnya, pelestarian didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk menyelamatkan dan memperpanjang usia naskah melalui pendataan, pemetaan, konservasi, restorasi, dan alih media. Pendekatan ini dilakukan secara berjenjang, melibatkan Perpustakaan Nasional sebagai koordinator utama, Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pelaksana di daerah, serta pemilik naskah kuno yang bertanggung jawab atas koleksi pribadinya. Pemilik bahkan bisa meminta pendampingan dari perpustakaan terkait, menekankan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Tahapan pelestarian dimulai dari pendataan, di mana tim khusus menghimpun data kerusakan naskah, mengidentifikasi jenis dan tingkat kerusakan (dari baik hingga berat), serta memverifikasi kebenaran data. Selanjutnya, pemetaan menentukan lokasi dan pemilik naskah prioritas. Konservasi dan restorasi menjadi inti fisik pelestarian: konservasi mencakup pemeliharaan lingkungan penyimpanan (seperti pengendalian suhu dan kelembaban), perawatan rutin (pembersihan debu dan pencegahan biota), serta perbaikan (dari praperbaikan hingga penjilidan ulang). Restorasi, di sisi lain, bertujuan mengembalikan kondisi asli dengan prinsip minimalis dan reversibel, seperti mengisi tulisan hilang atau memperbaiki jilidan. Tingkat kerusakan menentukan siapa yang menangani—kabupaten/kota untuk kerusakan ringan, provinsi untuk sedang, dan nasional untuk berat.
Tak kalah penting, alih media mengubah naskah fisik menjadi format digital untuk aksesibilitas lebih luas. Proses ini meliputi pemindaian, penyuntingan, dan pembuatan empat salinan digital yang diserahkan ke perpustakaan nasional, provinsi, kabupaten/kota, serta pemilik. Jika pemilik telah melakukan alih media dengan pihak lain, salinan tetap wajib diserahkan. Peraturan juga menekankan mitigasi bencana, mulai dari sosialisasi prabencana hingga perbaikan pascabencana, untuk mencegah kehilangan akibat banjir, gempa, atau kebakaran.
Untuk mendukung penyelenggaraan, peraturan mengatur penyediaan sarana prasarana seperti alat konservasi dan ruang khusus, peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui pelatihan dan bimbingan teknis, serta pembinaan melalui seminar, monitoring, dan bantuan peralatan. Sistem informasi pelestarian naskah kuno dikembangkan secara terintegrasi, dengan pemutakhiran data berkala oleh semua tingkat perpustakaan. Koordinasi dan kerja sama dengan pemilik naskah diwujudkan melalui perjanjian, termasuk tukar menukar data digital dan pemanfaatan sumber daya.
Pelaporan kegiatan dilakukan tahunan: kabupaten/kota ke provinsi, dan provinsi ke nasional. Naskah yang telah dialih media dapat didayagunakan untuk masyarakat, meskipun pemilik berhak menolak. Pendanaan bersumber dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya, memastikan keberlanjutan program.
Secara keseluruhan, peraturan ini bukan hanya aturan birokratis, melainkan langkah strategis untuk menjaga identitas bangsa. Di era digital saat ini, pelestarian naskah kuno seperti ini memastikan generasi mendatang tetap terhubung dengan akar budaya mereka, mencegah hilangnya pengetahuan berharga yang telah bertahan ratusan tahun. Dengan implementasi yang baik, Indonesia bisa menjadi teladan dalam pelestarian warisan dunia.
Naskah kuno didefinisikan dalam Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pasal 1, ayat 4 yaitu semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dalam undang-undang tersebut pada bagian penjelasan pasal 7, ayat 1, butir i, dinyatakan bahwa naskah kuno berisi warisan budaya karya intelektual bangsa Indonesia yang sangat berharga dan hingga saat ini masih tersebar di masyarakat dan untuk melestarikannya perlu peran serta pemerintah. Pelestarian naskah kuno oleh pemerintah sangat ditekankan dalam undang-undang tersebut, sebagaimana tercantum dalam pasal 22, ayat 2 yang menyatakan bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan perpustakaan umum daerah yang koleksinya mendukung pelestarian budaya daerah masing-masing dan memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
Koswara & Ruswendi (2019) menjelaskan bahwa karakteristik Naskah Sunda Kuno meliputi beberapa hal berikut:
Naskah Sunda Kuno umumnya berisi tulisan tentang agama, moral, hukum/adat, mitos/legenda, pendidikan, pengetahuan, primbon, kesusastraan, kesusastraan sejarah, sejarah, dan seni.
Bahan fisik Naskah Sunda Kuno umumnya dari tumbuhan, seperti daun lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daluang, dan kertas.
Berdasarkan periode waktu penulisan, Naskah Sunda Kuno dapat dikelompokkan dalam tiga periode penulisan, yaitu: Masa Kuna (masa sekitar abad ke-17 dan sebelumnya); Masa Peralihan (sekitar abad ke-18 Masehi); serta Masa Baru (sekitar abad ke- 19 dan abad ke-20).
Bahasa yang dipakai dalam Naskah Sunda Kuno dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: Naskah berbahasa Sunda Kuna (sekitar abad ke-16 Masehi) dan berbahasa Sunda Baru (abad ke-19 dan abad ke-20 Masehi); Naskah berbahasa Jawa: Jawa-Cirebon, Jawa-Priangan dan Jawa-Banten; serta Naskah berbahasa Melayu (akhir abad ke-19 Masehi).
Jenis aksara yang dipakai dalam Naskah Sunda Kuno dikelompokkan berdasarkan urutan waktu, yaitu: Aksara Sunda Kuna (sebelum abad ke-17 Masehi); Aksara Jawa-Cirebon dan Jawa-Sunda (abad ke-17 Masehi); Aksara Pegon (abad ke-18 Masehi); serta Aksara Latin (abad ke-19 Masehi).
Berdasarkan penjelasan Koswara & Ruswendi (2019) diketahui bahwa tulisan pada Naskah Sunda Kuno mengandung beragam pengetahuan tradisional. Ragam pengetahuan tradisional yang terkandung dalam naskah kuno tersebut merupakan sumber daya pengetahuan bagi masyarakat, khususnya bagi kalangan akademisi dan peneliti. Dalam hal ini, naskah kuno dapat dijadikan bahan pembelajaran atau bahan penelitian bagi pengembangan keilmuan. Keragaman pengetahuan tradisional yang terkandung dalam naskah kuno sebagai sumber daya pengetahuan dapat terlihat dari beberapa contoh naskah kuno yang disampaikan oleh Darsa (2011) sebagai berikut:
Naskah yang bersifat Enslikopedis, misalnya: Sanghyang Siksakandang Karesian, yang berisi tentang petunjuk kaum intelektual.
Naskah yang berisi tentang Topografi, misalnya: Kisah Perjalanan Bunjangga Manik.
Naskah yang berisi Karya Sastra, misalnya: Kisah Keturunan Rama dan Rawana atau Pantun Ramayana.
Naskah yang berisi tentang Sistem Pemerintahan, misalnya: Fragmen Carita Parahyangan.
Naskah kuno yang bersifat historis, misalnya: Carita-Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, dan Carita Warugaguru.
Naskah kuno tentang Keagamaan dan Filsafat, misalnya: Séwaka Darma (Pengabdian kepada Hukum); Carita Purnawijaya (Kisah Keunggulan Sempurna); Kawih Paningkes (Kidung Penjelas); Lesjes van Soenan Goenoeng Djati (Gambaran Kosmologi Sunda); Jatiraga atau Jatiniskala (Kemahagaiban); Darmajati (Hukum Sejati); Amanat Galunggung; Sang Hyang Raga Déwata (Asal Mula Penciptaan); dan Kisah Sri Ajnyana (Kisah Manusia Turun ke Alam Dunia).
Naskah tentang obat-obatan dan penyakit, misalnya: Kalpasastra (Ilmu Obat-obatan); Sarwa Wyadi Sastra (Ilmu Berbagai Penyakit); Yaksami Sastra (Ilmu Penyakit Paru-paru); Sarwosadawédya Sastra (Ilmu berbagai Pengobatan); Usadilata Sastra (Ilmu Tanaman Obat); Usadawédya Sastra (Ilmu Pengobatan); Sarpa Wisosada Sastra (Ilmu Pengobatan Racun); Sarwa Wyadayanang Janapada (Berbagai Penyakit Masyarakat); Serat Wyadaya Sarwa Satwa (Catatan Penyakit Berbagai Hewan); Kajamasosada Sastra (Ilmu Perwatan Rambut); Sarwa Parnosada Sastra (Ilmu Berbagai Obat Penyakit Parah); dan Pustaka Wyadikang Nirosada (Kitab Penyakit yang Tak Ada Obatnya); dGamyosadi Sastra (Ilmu Obat Mujarab); dan Ayurwéda Sastra (Ilmu Ketabiban).
Naskah mengenai beragam ilmu pengetahuan, misalnya: Caradigama Sastra (Ilmu Etika dan Tatakrama); Caracara Pustaka (Naskah Ilmu Binatang dan Tumbuhan); Candraditya Grahana Sastra (Ilmu Pengetahuan Gerhana Bulan dan Matahari); Sastradaksa Pustaka (Naskah Ilmu Kesusastraan); Sastrakala Sastra (Ilmu Karawitan); Sarwa Satwanggalika Sastra (Ilmu Menjinakkan Binantang); Garbawasa Sastra (Ilmu Kebidanan); Hérmanta Pustaka (Naskah Ilmu Musim Dingin); Hastisika Sastra (Pengetahuan tentang Gajah); Pustaka Jaladimantri (Naskah Ilmu Kelautan); Pustaka Sénapati Sarwajala (Naskah Memimpin Perang Laut); Pustaka Kawindra (Naskah Penyair Besar); Sarwa Krawyada Sastra (Pengetahuan tentang Berbagai Binatang Buas); Carita Lahrumasa (Kisah Musim Kemarau); Serat Madiragawé (Petunjuk Membuat Minuman Keras); Wanadri Sastra (Pengetahuan Hutan dan Pegunungan); Ratnapéni Sastra (Pengetahuan Berbagai Perhiasan); Pustaka Gulay-gulayan (Naskah Tentang Rempah-rempah); Serat Saptawara, Pancawara, Sadawara Masa (Petunjuk Siklus Tujuh Harian, Lima Harian, Enam Harian); Serat Candrasangkala lawan Suryasangkala (Petunjuk Siklus Tahun Bulan dan Tahun); Rénacumba Sastra (Ilmu Mendidik Anak); Wihangpretadi Sastra (Ilmu Penangkal Gaib); Iti Candani Sastra (Pengetahuan Tentang Bebatuan); Digwidig Sastra (Pengetahuan Tentang Arah Mata Angin) ; Maryadepananggraha Sastra (Pengetahuan Adat Pernikahan); Jyotisa Sastra (Ilmu Astronomi); Serat Prasadétiraning Sagara (Petunjuk Tentang Menara di tepi Pantai); Pustaka Sarwa Gosana Raja (Naskah Berbagai Pengumuman Raja); Piterpuja Tantra (Pedoman Pemujaan Arwah); Smaragama Sastra (Pengetahuan Seni Asmara); Pustaka Yogasamadi (Naskah Tentang Berkontemplasi); dan Pustaka Sasanawakta (Ilmu Tata Cara Berpidato).
Demikan pemaparan tentang ”Karakteristik serta Ragam Naskah Kuno”. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Cag.
Sumber tulisan:
Darsa, U. A. (2011). Kodekologi: dinamika identifikasi, inventarisasi dan dokumentasi tradisi pernaskahan nusantara sunda. Bandung. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
Koswara, D. & Ruswendi, P. (2019). Konservasi naskah sunda kuno di kabupaten bandung. Lokabasa, 10(1), 25-33. doi:10.17509/jlb.v10i1.16929
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Perpustakaan. 1 Nopember 2007. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 129. Jakarta.