Kolaborasi Jadi Kunci Pelestarian Naskah Nusantara

Salemba — Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), E. Aminudin Aziz, menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat baik individu maupun komunitas dalam upaya preservasi naskah Nusantara.

Hal tersebut disampaikan Kepala Perpusnas pada saat membuka secara resmi kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Diskusi Kolaboratif Preservasi serta Digitalisasi Naskah Kuno Berbasis Komunitas dengan tema Kolaborasi pemerintah dan komunitas dalam menjaga dan menghidupkan naskah kuno Nusantara, Rabu (29/10/2025).

Menurutnya, kolaborasi ini bukan hanya penting, tetapi juga merupakan amanat dari regulasi nasional, khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menetapkan naskah atau manuskrip sebagai salah satu dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan.

“Baik pemerintah dan komunitas, memiliki tanggung jawab masing-masing. Peran pemerintah misalnya memberikan fasilitasi yang kali ini dikemas dalam bentuk bimbingan teknis, sementara peran komunitas adalah merawat dengan baik naskah-naskah tersebut,” jelasnya.

Ia menambahkan, peran komunitas bukan hanya merawat fisik naskah Nusantara semata tetapi yang lebih utama adalah membuat naskah-naskah Nusantara dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas yang kemudian pemanfaatannya dapat dikolaborasikan dengan berbagai pihak.

“Salah satu contohnya adalah naskah Sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Saya sampaikan kepada Gubernur Jawa Barat agar naskah ini dimanfaatkan. Gubernur kemudian memerintahkan aparatnya untuk mengkaji naskah tersebut dan menjadikannya dasar dalam pembuatan bacaan sederhana bagi anak-anak di sekolah. Karena isinya tentang resi dan nilai pengabdian, maka nilai-nilai itu juga dapat disebarkan kepada Aparat Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat,” jelasnya.

Selain itu, Kepala Perpusnas menekankan dua hal penting lainnya dalam upaya pelestarian naskah Nusantara yakni tidak abai terhadap keberadaan naskah kuno, serta tidak mengabaikan substansi atau nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Kepala Pusat Preservasi dan Ahli Media Bahan Perpustakaan, Tri Luki Cahya Dini, menyampaikan para peserta bimbingan teknis akan mengikuti empat kelas utama yaitu praktik presentasi preventif sederhana pada naskah kuno, praktik pembuatan kotak sarana penyimpanan atau portepel, praktik restorasi atau perbaikan sederhana pada naskah kuno dan materi serta praktik digitalisasi naskah.

“Harapan kami kegiatan ini dapat menjadi wadah peningkatan kapasitas dan penguatan jejaring kerjasama antar pemerintah, komunitas, pondok pesantren serta masyarakat pelestari naskah. Dengan bekal keterampilan yang diperoleh, para peserta dapat menerapkannya di bidang masing-masing sehingga pelestarian naskah kuno dapat berjalan secara lebih mandiri dan berkelanjutan,” jelasnya.

Perwakilan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Budi Wahyono, memaparkan kolaborasi dengan perpustakaan kabupaten/kota se-Jawa Tengah serta beberapa perguruan tinggi sebagai upaya pelestarian naskah kuno. Kerja sama tersebut dilakukan untuk memperkuat pengelolaan, pendataan, dan digitalisasi naskah kuno agar lebih mudah diakses dan dilestarikan.

“Koordinasi rutin dilakukan secara daring melalui Zoom untuk berbagi informasi dan merencanakan kegiatan bersama. Selain itu, perwakilan dari kabupaten/kota sering datang langsung ke provinsi untuk melakukan konsultasi terkait pengelolaan dan pelestarian naskah,” tuturnya.

Sementara itu, pimpinan dari komunitas Nahdlatul Turots, Kiai Utsman Hasan, menyampaikan dalam salah satu naskahnya Syaikhona Muhammad Kholil menekankan pentingnya mencintai negeri atau tempat kelahiran sebagai bagian dari keimanan. 

“Nilai itu kami warisi hingga kini. Ketika membuka naskah, kami semakin kuat merasakan ikatan cinta tanah air dan mengekspresikannya dengan merawat naskah agar tidak hilang atau rusak,” tuturnya.

Dosen sekaligus pengurus komunitas Nahdlatul Turots, Ustadz Moh. Ainur Ridha, menambahkan Nahdlatul Turots merupakan konsorsium atau komunitas yang menghimpun naskah-naskah pesantren, karya para ulama serta naskah-naskah keislaman lainnya yang berdiri sejak tahun 2021.

“Komunitas ini hadir dengan semangat membangkitkan dan membumikan kembali naskah-naskah kuno ulama Nusantara sebagai warisan intelektual bangsa. Nahdlatul Turots menjalankan tiga asas Khidmat Nahdlatul Turots yaitu inventarisasi, preservasi dan diseminasi,” jelasnya.

Peneliti naskah kuno sekaligus perwakilan dari komunitas Sraddha Sala, Rendra Agusta, menyampaikan berdirinya komunitas Sraddha Sala berawal dari keprihatinan terhadap minimnya peneliti naskah kuno Jawa khususnya naskah Merapi-Merbabu yang jumlahnya terus menurun.

“Sraddha Sala didirikan oleh kalangan akademisi lintas kampus seperti UGM, UNS, dan UI dan berjalan secara mandiri selama hampir satu dekade. Sraddha Sala memiliki tiga pilar kegiatan, yaitu institut untuk riset, komunitas sebagai ruang lintas disiplin, dan store yang menjadi penopang ekonomi gerakan,” tuturnya.

Turut hadir dalam kegiatan ini, Sekretaris Utama, Joko Santoso, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, Suharyanto, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Pusat Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Yeri Nurita, Kepala Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan, Supriyanto, Kepala Pusat Data dan Informasi, Wiratna Tritawirasta serta para peserta bimtek yang hadir secara luring maupun daring.

Reporter: Anastasia Lily

Dokumentasi: Ahmad Kemal Nasution

Disclaimer: Seluruh isi berita ini diambil dari Website Resmi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dari tautan ini: https://www.perpusnas.go.id/berita/kolaborasi-jadi-kunci-pelestarian-naskah-nusantara

Pengelolaan Naskah Kuno di Sumedang Masih Terkendala, Survei Ungkap Lima Masalah Utama

Sumedang — Hasil survei yang dilakukan Komunitas PENAKU terhadap 29 responden yang terdiri dari unsur pengurus dan anggota Komunitas PENAKU mengungkap adanya lima masalah utama dalam pengelolaan naskah kuno di Kabupaten Sumedang. Temuan ini diperoleh melalui formulir Google yang dianalisis secara tematik sebagai bagian dari kegiatan pemetaan pengelolaan naskah kuno di Kabupaten Sumedang.

Survei menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia (SDM) merupakan kendala paling dominan. Minimnya tenaga ahli filologi, konservasi, dan manajemen naskah, serta rendahnya pemahaman masyarakat, menyebabkan banyak naskah belum dikelola secara optimal.

Selain itu, responden menyoroti tantangan fisik dan teknis, seperti kondisi naskah yang rapuh, kurangnya fasilitas penyimpanan standar, dan belum adanya integrasi teknologi digital sebagai penunjang akses serta pelestarian.

Dari sisi kebijakan, survei mencatat keterbatasan anggaran, belum adanya regulasi khusus, dan birokrasi yang rumit sebagai faktor penghambat. Akses terhadap naskah juga terbatas akibat inventarisasi yang belum tuntas dan masih banyaknya naskah yang disimpan secara pribadi.

Pemanfaatan konten naskah juga dinilai rendah. Banyak naskah belum diterjemahkan, belum dikaji secara ilmiah, dan belum disajikan dalam bentuk yang mudah diakses oleh masyarakat.

Dalam paparannya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pemetaan, Kusnandar selaku pengurus Komunitas PENAKU menyampaikan bahwa temuan ini menggambarkan kondisi nyata lapangan dan menjadi dasar penting bagi penyusunan strategi pelestarian ke depan.

Permasalahan yang teridentifikasi ini menunjukkan bahwa pengelolaan naskah kuno membutuhkan kerja bersama, bukan hanya oleh komunitas, tetapi juga pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Tanpa kolaborasi dan dukungan berkelanjutan, warisan intelektual Sumedang terancam hilang,” ujar Kusnandar.

Lebih lanjut, hasil survei juga memuat enam usulan strategis, meliputi pendataan komprehensif, konservasi dan digitalisasi, transliterasi-terjemahan, edukasi publik, penguatan kolaborasi kelembagaan, serta pengembangan akses terbuka melalui katalog digital.

Temuan ini diharapkan menjadi pijakan bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk merumuskan kebijakan yang lebih terarah serta membangun sistem pengelolaan naskah kuno yang berkelanjutan di Kabupaten Sumedang.

Sosialisasi Website Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU)

Dinas Arsip dan Perpustakaan (DISARPUS) Kabupaten Sumedang bekerjasama dengan Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS) menyelenggarakan kegiatan ”Sosialisasi Penggunaan Website Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU)”, tanggal 22 Oktober 2025. Penyelenggaraan kegiatan ini berkaitan dengan peluncuran website resmi Komunitas PENAKU dengan alamat web: https://komunitaspenaku.id, tanggal 2 Oktober 2025. Website Komunitas PENAKU merupakan media komunikasi partisipatif, khususnya bagi Pengurus dan Anggota Komunitas PENAKU dalam rangka membangun Tata Kelola Naskah Kuno Kolaboratif di Kabupaten Sumedang.

Kegiatan sosialisasi ini merupakan rangkaian dari kegiatan sebelumnya pada 21 Oktober 2025 yang dihadiri oleh beberapa perkawilan Pengurus DKS serta para Pengurus dan Anggota Komunitas PENAKU yang dilaksanakan secara luring di Aula Bidang Perpustakaan, Komplek Pusat Pemerintahan Sumedang (PPS), Kabupaten Sumedang. Sementara itu, pelaksanaan sosialisasi tanggal 22 Oktober 2025 dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting yang dihadiri beberapa pegiat literasi yang tergabung dalam Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) dan perwakilan beberapa guru di Kabupaten Sumedang.

Pemberi materi sosialisasi adalah Kusnandar, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran. Adapun, materi yang disampaikan meliputi sosialisasi fitur-fitur Website Komunitas PENAKU serta pelatihan cara penggunaan website tersebut. Secara mendasar, fitur-fitur Website Komunitas PENAKU terdiri dari dua fitur utama, yaitu Fitur Publik dan Fitur Komunitas.

Fitur Publik pada website Komunitas PENAKU disediakan bagi siapapun yang mengujungi website tersebut untuk mendapatkan informasi yang dikelompokkan dalam beberapa rubrik, yaitu: Berita, Artikel, Naskah Kuno, Tokoh, dan Referensi. Di sisi lain, Fitur Komunitas adalah fitur website yang disediakan khusus bagi pengurus dan anggota Komunitas PENAKU. Agar dapat memanfaatkan fitur ini, pengurus dan anggota Komunitas PENAKU harus terdaftar dalam sistem website dan harus melakukan Log In sebelum menggunakan Fitur Komunitas yang dimaksud. Setelah pengurus dan anggota Komunitas PENAKU masuk ke dalam sistem webiste tersebut, mereka dapat melakukan diskusi bersama melalui Forum Komunikasi dengan berbagai topik diskusi yang telah disediakan.

Pada penutup kegiatan sosialisasi, Kusnandar menyampaikan harapannya, ”Mugia tiasa bermanfaat kanggo urang sadaya, dina raraga nanjeurkeun nilai-nilai Kasumedangan, khususna dina kaelmuan anu nyampak dina Naskah Kuno. Mugia oge, aya daya guna kangge balarea dina ngokolahkeun tutungkusan karuhun”.

Melalui kegiatan ini, Kepala Disarpus Kabupaten Sumedang dan Ketua DKS berharap agar Komunitas PENAKU bisa lebih kreatif dan produktif dalam berkegiatan. Diharapkan dengan adanya Website Komunitas PENAKU, proses komunikasi partisipatif dapat lebih berkualitas sehingga dapat berkontribusi terhadap pengembangan Tata Kelola Naskah Kuno Kolaboratif di Kabupaten Sumedang.

Disarpus Sumedang Gelar Pelatihan Website: Dorong Literasi Digital dan Dokumentasi Budaya Lokal Sumedang

Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (Disarpus) Kabupaten Sumedang menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Penggunaan Website KomunitasPenaku.id di Gedung Perpustakaan Pusat Pemerintahan Kabupaten Sumedang, Selasa (21/10/2025).

Pelatihan yang dimulai pukul 09.00 WIB ini diikuti oleh para pegiat literasi, perwakilan lembaga pendidikan, komunitas literasi, serta unsur kebudayaan dari berbagai wilayah di Kabupaten Sumedang. Kegiatan tersebut bertujuan memperkuat kemampuan peserta dalam mengelola platform digital sebagai sarana publikasi dan jejaring antar komunitas literasi.

Diawal acara, Kepala Disarpus Kabupaten Sumedang, Hari Tri Santosa, AP., MM, mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta yang telah berkenan hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

“Kami mengapresiasi kehadiran Bapak dan Ibu semua. Kegiatan ini merupakan upaya bersama memperkuat budaya literasi berbasis digital di Kabupaten Sumedang. Melalui KomunitasPenaku.id, kita ingin menghadirkan ruang kolaborasi dan publikasi bagi komunitas dan lembaga literasi,” ujarnya.

Sebagai narasumber, hadir Kusnandar, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran. Dalam pemaparannya, Kusnandar menekankan pentingnya literasi digital bagi komunitas literasi di daerah.
“Website KomunitasPenaku.id menjadi sarana penting untuk berbagi pengetahuan, memperluas jejaring, dan mendokumentasikan aktivitas komunitas secara digital. Ini adalah jembatan antara masyarakat, komunitas, dan pemerintah daerah,” jelasnya.

Sementara itu, perwakilan Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS), Ki Wangsa, menyoroti pentingnya dokumentasi sejarah dan budaya lokal, terutama di wilayah yang terdampak pembangunan Bendungan Jatigede.

“Saya tengah mengumpulkan bahan dokumentasi sejarah dari kawasan Cipaku, salah satunya terkait Masjid Al Kamil yang dulu direncanakan menjadi museum. Informasi semacam ini harus diselamatkan sebagai bagian dari memori kolektif masyarakat,” ungkapnya.

Salah satu peserta, Mahdi, guru MTs Persis Sumedang dan penggerak literasi, menilai kegiatan ini sangat bermanfaat dalam memperluas wawasan tentang pengelolaan konten digital.
“Pelatihan ini membantu kami memahami bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkenalkan kegiatan literasi kepada masyarakat secara lebih luas,” ujarnya.

Melalui kegiatan ini, Disarpus Sumedang berharap terbangun kolaborasi antara pegiat literasi, akademisi, dan pemerhati kebudayaan dalam memperkuat ekosistem literasi digital di Kabupaten Sumedang yang berakar pada nilai-nilai budaya lokal.

Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU) Rancang Program Keberlanjutan Naskah Kuno

Mang Sae | Agustus 15, 2025

Konsolidasi Pedaran Naskah Kuno (PENAKU). Foto: Sae

Sebuah langkah penting dalam pelestarian warisan literasi dan budaya Sunda terwujud melalui kegiatan Konsolidasi Komunitas Pedaran Naskah Kuno (PENAKU) yang digelar di Sekolah Budaya, Sumedang pada Jumat sore, 15 Agustus 2025. Kegiatan ini diinisiasi oleh Dosen Universitas Padjadjaran, Kusnandar, sebagai upaya mempersatukan para pemangku kepentingan yang peduli terhadap pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan naskah kuno.

Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen penting, di antaranya Ketua Umum Dewan Kebudayaan Sumedang (DKS) dan jajaran koordinator Matranya, Kepala Bidang Kebudayaan Disparbudpora Sumedang, MGMP Bahasa Sunda Sumedang, para pemegang naskah kuno, seniman, budayawan, serta pegiat literasi. Dalam forum konsolidasi ini, PENAKU menetapkan struktur organisasi dan menyusun program kerja strategis, yang mencakup: Pendataan dan digitalisasi naskah kuno. Kegiatan penelitian dan penerbitan hasil kajian. Program edukasi dan literasi budaya untuk sekolah dan masyarakat.

Menurut Kusnandar, pembentukan komunitas ini merupakan wujud sinergi lintas sektor. “Naskah kuno bukan hanya artefak masa lalu, tetapi sumber pengetahuan dan identitas budaya kita. Dengan PENAKU, kita berkomitmen merawat, mempelajari, dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dengan cara inventarisasi, preservasi dan utilisasi” ujarnya. Kegiatan ini juga menjadi momentum penguatan jaringan antara akademisi, pemerintah, komunitas budaya, dan masyarakat. Harapannya, PENAKU dapat menjadi pusat koordinasi dan kolaborasi dalam upaya pelestarian naskah kuno, khususnya di Sumedang.

Dengan terbentuknya struktur dan program kerja yang jelas, Komunitas Pedaran Naskah Kuno siap melangkah sebagai garda terdepan dalam menjaga warisan sastra dan sejarah bangsa, agar tetap relevan dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Sebelum acara ditutup tentunya ada suguhan menarik dari Abah Engkus sebagai juru pantun sambil diiringi kecapi yang menemani sore itu semakin syahdu dengan lantunan rajah dan cerita pantunnya

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website guarmedia.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://www.guarmedia.com/2025/08/komunitas-pedaran-naskah-kuno-penaku.html

Mengenal 30 Naskah Kuno di Sumedang dari Seorang Filolog

Nur Azis – detikJabar
Rabu, 05 Okt 2022 22:30 WIB

Anggi Endrawan, Seorang Filolog di Bidang Kebudayaan, Disparbudpora, Sumedang (Foto: Nur Azis/detikJabar).

Sumedang – Sebanyak 30 naskah kuno berhasil diinventarisasi oleh Bidang Kebudayaan dari Dinas Pariwisatawa, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora), Kabupaten Sumedang. Naskah kuno tersebut kebanyakan merekam peristiwa pada masa Kesultanan Sumedang Larang. Hal itu diungkapkan oleh ahli filolog dari Bidang Kebudayaan, Disparbudpora Sumedang Anggi Endrawan saat diwawancarai detikJabar belum lama ini. “Naskah kuno yang sudah ditemukan di masyarakat jumlahnya ada sekitar 52 naskah, itu belum 5 naskah yang baru ditemukan baru-baru ini dan yang berhasil diinventarisasi itu ada 30 naskah, naskah-naskah itu bukan dihibahkan dari masyarakat tapi boleh difoto atau didigitalisasi oleh bidang kebudayaan,” kata Anggi yang kini masih berstatus sebagai tenaga sukarelawan (Sukwan) di Bidang Kebudayaan, Disparbudpora Sumedang.

Anggi memaparkan naskah kuno yang berhasil ditemukan dan diinventarisasi rata-rata merupakan naskah kuno pada abad ke-17 atau masa kesultanan Sumedang Larang. “Itu terlihat dari corak tulisannya menggunakan huruf abjad pegon Sunda, atau aksara arab yang dipakai untuk merekam peristiwa dengan menggunakan bahasa Sunda, tulisan Arab tapi bahasa Sunda,” ungkapnya. Naskah-naskah kuno itu, sambung pria lulusan Fakultas Ilmu Budaya Unpad ini, ada yang berbentuk wawacan atau mengacu pada 17 jenis pupuh (cara bacanya didendangkan), ada yang berbentuk prosa dan ada juga yang berbentuk narasi.

Kalau naskah kuno berbentuk wawacan itu biasanya naskah kuno yang menggambarkan suasana hati semisal sedang kasmaran berarti pupuhnya asmarandana, kemudian kalau bentuk prosa itu biasanya terkait tentang ajaran atau hukum dan biasanya tulisannya tersusun. Kemudian kalau bentuk narasi itu seperti catatan-catatan serupa kronik, semisal tulisan tentang suatu tempat yang pernah dikunjungi berikut dengan keterangan tanggal dan lokasinya,” terangnya.

Anggi melanjutkan, dari 30 naskah kuno yang ada, nahkah tersebut di antaranya berisikan tentang pengetahuan. Dalam hal ini dibagi ke dalam 3 bagian, seperti ilmu pengetahuan tentang tata cara bercocok tanam khususnya bertani padi, sistematika perhitungann waktu dan pengetahuan tentang obat-obatan tradisional. “Kalau orang-orang dulu saat belum ada teknologi ponsel atau kalender, itu soal waktu itu menggunakan penalaran khusus yang mengacu pada penanggalan hijriah, dan di naskah kuno itu ada rumusannya dan sadar terhadap waktu,” paparnya. “Sekarang ada rumah sakit, kalau dulu itu kan pakai tradisional jadi acuannya saat itu pada naskah atau catat,” ujarnya.

Kandungan lainnya, yakni berisikan tentang kesejarahan seperti babad (asal usul) atau riwayat dan berisikan ajaran atau hukum. “Seperti kalau riwayat itu tentang sosok Ogin Amar Sakti, seorang pribumi yang memberontak terhadap Belanda, itu ada wawacannya, ada kisahnya,” tuturnya. “Sementara kalau tentang ajaran, seperti tentang tarikat Qadiriyah, tentang tarikat Naqsyabandiyah, lalu ada wawacannya Syekh Abdul Kadir Jaelani, nah itu soal ajaran,” ujarnya.

Itu kenapa, kata Anggi, naskah-naskah kuno yang ada haruslah benar-benar dikelola, diperhatikan dan dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang. Terlebih Sumedang memiliki slogan sebagai puser budaya Sunda. “Sumedang ini memiliki slogan puser budaya Sunda, slogan itu darimana asalnya jika tidak bersumber dari naskah-naskah kuno atau manuskrip-manuskrip yang ada maka sudsh selayaknya naskah kuno ini harus dikelola dan dikembangkan dengan baik,” ucapnya.

(mso/mso)

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website detik.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6330891/mengenal-30-naskah-kuno-di-sumedang-dari-seorang-filolog.

Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius”

Kantor Komunikasi Publik

Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum (Foto oleh: Tedi Yusup)

[Unpad.ac.id, 13/06/2016] Jati diri kesundaan sebaiknya bukan hanya tersaji dalam bentuk tampilan fisik berupa pakaian tradisional, atau simbol budaya lahiriah lainnya. Beragam nilai hidup yang telah diwariskan nenek moyang justru menjadi substansi jati diri Sunda serta menjadi pedoman bagi masyarakat Sunda. “Jauh lebih penting adalah substansi kesundaan. Seperti silih asah, silih asih, silih asuh. Itulah yang mencetak cara berpikir kita,” kata Dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Dr. Drs. Undang Ahmad Darsa, M.Hum. Nilai-nilai itu di antaranya tersirat dalam naskah-naskah Sunda kuno. Dr. Undang menjelaskan, melalui filologi, dipelajari perkembangan kebudayaan suatu masyarakat melalui konsep-konsep pemikirannya yang di antaranya tertuang dalam tradisi tulis, khususnya naskah. “Jadi, mempelajari naskah itu bukan hanya menyalin, mengedisi, lalu disajikan untuk bacaan baru, tetapi jauh lebih dari itu,” tutur Kepala Program Studi Sastra Sunda FIB Unpad ini.

Menurut Dr. Undang, tidak semua unsur atau produk budaya memiliki kearifan lokal. Dengan mendalami naskah kuno, dapat dipelajari kearifan-kearifan lokal yang selama ini telah terendap. Lebih dari itu, sebaiknya yang diangkat adalah local genius yang terkandungnya. “Jadi, local wisdom mungkin tidak akan begitu bermanfaat kalau penyangga-penyangganya tidak memiliki local genius yang kuat. Local genius inilah yang mesti dicetak melalui sekolah dan perguruan tinggi untuk menykapi serta mengimplementasikan tata nilai,” paparnya. Dr. Undang pun menyebut naskah-naskah kuno itu sebagai “produk kaum intelektual yang lahir lewat lembaga formal pendidikan pada tiap-tiap masanya”. Pria kelahiran Tasikmalaya 19 Oktober 1962 ini meyakini, penulis naskah bukanlah orang yang sembarangan. Mereka adalah orang-orang cerdas.

Ada naskah, pasti ada yang menulis. Pertanyaan saya, di mana pabrik-pabrik orang cerdas itu? Ternyata, adalah ‘mandala’ sebagai lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kerajaan, dan  pesantren merupakan lembaga formal pendidikan pada zaman sistem kesultanan,” kata Dr. Undang. Ia pun tergelitik untuk menelusuri, di mana Raja-raja Sunda zaman dahulu menempuh  pendidikan formalnya. Dr. Undang meyakini, para Raja Sunda merupakan orang-orang berpendidikan. Menurutnya, saat ini belum banyak peneliti  yang mendalami mengenai hal ini. “Pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad XV-XVI Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali,” ungkapnya.

Istilah belajar pendalaman ilmu itu pun disebut dengan “tapa”.  Berbeda dengan pengertian “tapa” saat ini, yang bahkan banyak masyarakat mengaitkannya ke hal-hal bernuansa magis, “tapa” di sini berarti menuntut ilmu. Dr. Undang menjelaskan, bahwa kegiatan tapa dilakukan di sebuah lembaga pendidikan, yakni di mandala. “Kalau begitu, tempat bertapa itu mandala, tempat tolabul ilmu itu pesantren, dan Unpad ini pada dasarnya tiada lain adalah tempat bertapa alias tempat tolabul ilmu” imbuhnya. Berbagai penelitian terkait naskah-naskah Sunda kuno sudah dilakukan Dr. Undang sejak ia menempuh Pendidikan Sarjana di  Jurusan Sastra Daerah (Sunda) Fakultas Sastra Unpad. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan Magister dan Doktornya  di Program Pascasarjana Unpad, dengan mendalami ilmu Filologi.

Dr. Undang memang tertarik untuk mendalami Ilmu Kesundaan. Bukan hanya mengenai bahasa, tetapi mengenai cara hidup orang Sunda sejak dulu, seperti bagaimana mereka mengatur sistem  tata kelola pemerintahannya, bagaimana tata cara bersinergi dengan lingkungannya, bagaimana perkembangan kuliner dan teknik busananya, bagaimana mereka menjalani kehidupan keagamaan sehari-hari, dan sebagainya. Saat ini, Dr. Undang pun ingin mewujudkan cita-citanya, yakni membangun  laboratorium naskah kuno Sunda dalam bentuk digital. Laboratorium naskah digital ini diharapkan dapat turut membantu para peneliti lain dalam mempelajari naskah kuno Sunda tanpa harus mengunjungi langsung lokasi ditemukannya naskah. Digitalisasi ini juga diperlukan untuk menjaga agar naskah-naskah ini dapat terpelihara dengan baik dan tidak cepat rusak.

Menurutnya, Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi penyelamat naskah-naskah Sunda. Naskah-naskah Sunda ini merupakan salah satu tangible cultural heritage  atau warisan budaya kebendaan yang bersifat kongkrit (material culture) dan sekaligus mengandung teks yang dapat dikategorikan sebagai salah satu intangible cultural heritage atau warisan budaya nonkebendaan yang bersifat abstrak (immaterial culture). “Itulah kewajiban kami di Prodi Sastra Sunda, untuk mendata, menginventarisasi, mencatat, mendigitalisasi, dan mengkaji sekaligus mengungkap kandungan naskah, juga mencetak kader-kader muda yang concern terhadap itu,” tuturnya.

Laporan oleh: Artanti Hendriyana / eh

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website unpad.ac.id yang dapat dilihat pada tautan berikut: https://www.unpad.ac.id/profil/dr-drs-undang-ahmad-darsa-m-hum-local-wisdom-tidak-begitu-bermanfaat-tanpa-local-genius/.

Terkuak! Isi Naskah Kuno yang Dimiliki Warga Sumedang

Nur Azis – detikJabar
Jumat, 30 Sep 2022 11:00 WIB

Salah satu naskah kuno yang dimiliki warga Sumedang. (Foto: Nur Azis/detikJabar)

Sumedang – Bidang Kebudayaan dari Disparbudpora Sumedang belum lama ini dibuat takjub oleh warga Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang yang masih menyimpan lima buku berisikan naskah kuno. Menurut pemiliknya, kelima buku tersebut merupakan warisan peninggalan dari sesepuhnya yang diwariskan turun temurun kepada keluarganya. Naskah itu ada yang masih dalam bentuk kertas aslinya, tapi ada juga yang sudah berbentuk salinan yang ditulis dalam bentuk huruf pegon Sunda.

Kepala Bidang Kebudayaan dari Disparbudpora Sumedang, Budi Akbar menyebut, naskah kuno itu diduga berasal dari abad ke-16 atau setelah abad ke-17. “Naskah kuno yang dibukukan itu ada yang masih dalam bentuk kertas aslinya dan ada juga yang sudah berbentuk salinan,” ujar Budi, Jumat (30/9/2022). Kendati demikian, ia meyakini kandungan isinya masih belum berubah. “Karena pada abad 16 atau abad 17 tidak semua orang bisa menulis dan yang bisa nulis pada masa itu pasti orang-orang pinter dan yang ditulisnya pasti bermanfaat,” terangnya.

Budi menjelaskan, berdasarkan penelitian sepintas dari ahli filologi Disparbudpora Sumedang, dari kelima buku itu, salah satu isi di dalamnya memuat tentang wawacan atau karya sastra dalam bahasa Sunda. Wawacan tersebut bertuliskan: wawacan awak salira, guaran diri antawis wujud sareng batinna, jiwa sareng ragana. “Tulisan itu kaitannya dengan spiritual,” ujar Budi.

Isi naskah lainnya, sambung Budi, menceritakan tentang Babad Cirebon. Penggalan isinya bertuliskan : Babad Cirebon, guaran riwayat putra mahkota Karajaan Sunda (putra Prabu Siliwangi) nu kaluar ti karaton milari kasajatian kaelmuan dugika ngebak ngempur ngabuka wilayah nu ayeuna katelah nami wilayah Cirebon. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah Babad Cirebon, mengungkap riwayat putra mahkota Kerjajaan Sunda (putra prabu Siliwangi) yang keluar dari keraton untuk mencari kesejatian keilmuan sampai membuka wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Cirebon.

Budi menyebut, berdasarkan catatan Bidang Kebudayaan Sumedang, total hingga kini sudah ada 59 naskah kuno yang telah ditemukan di Sumedang , berikut 5 naskah kuno yang baru ditemukan tersebut. “Untuk lima naskah kuno yang baru ditemukan, saat ini masih dipegang oleh pemiliknya, namun kami sudah meminta izin untuk memfotocopynya,” ujarnya.

Mengenal Wawacan
Dilansir dari situs kemdikbud.go.id, wawacan merupakan salah satu bentuk kesusastraan Sunda yang hadir di tanah Sunda kira-kira pada pertengahan abad ke-17 melalui ulama Islam dan pesantren. Wawacan adalah cerita panjang yang berbentuk dangding (menggunakan aturan pupuh). Seperti naskah Wawacan Ogin Amarsakti (WOA) diperoleh di Padalarang, Kabupaten Bandung. WOA berisi masalah keislaman dan perkenalan tokoh Ogin sejak bayi hingga menjadi raja, kesaktian serta keunggulan pihak Ogin, semata-mata hanya dalam rangka penyebaran ajaran Islam.

Berita sebelumnya, Lima buku berisikan naskah kuno masih terpelihara ditangan salah seorang warga Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang. Temuan naskah tersebut diketahui saat momen Milangkala Kecamatan Jatinunggal pada Selasa (27/9/2022). Hal itu sebagaimana yang diutarakan oleh Wakil Bupati (Wabup) Sumedang Erwan Setiawan kepada detikjabar, Kamis (29/9/2022).

Jadi waktu itu saya menghadiri acara Milangkala Jatinunggal yang ke-19, ada salah seorang warga yang menunjukan 5 buku berisikan naskah kuno, saat itu kebetulan ada orang dari Perpustakaan Nasional yang hadir,” ungkap Erwan. Erwan menyebut, sepintas terkait isi dari naskah kuno itu salah satunya berisikan tentang pesan-pesan moral yang baik bagi masyarakat kaitannya dengan nilai budaya. Atas temuan tersebut, sambung Erwan, naskah itu rencananya akan dibawa ke perpustakaan nasional untuk diterjemahkan secara detail terkait isi dari seluruh kandungan di dalamnya. “Mudah-mudahan bisa secepatnya diterjemahkan agar selanjutnya bisa dipublikasikan ke masyarakat,” ujarnya.

(orb/orb)

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website detik.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6320706/terkuak-isi-naskah-kuno-yang-dimiliki-warga-sumedang.

Pendigitalisasian Naskah Kuno yang Ada di Sumedang

inimahsumedang • Budaya • March 10, 2023

Tim Pusat Preservasi dan Alih Media Preservasi Perpustakaan Nasional melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Sumedang dalam rangka Digitalisasi dan Perlindungan/Konservasi Naskah Kuno sebagai tindaklanjut terkait penemuan naskah-naskah kuno di Kabupaten Sumedang.

Kegiatan tersebut, Tim Filolog MGMP Bahasa Sunda SMP Kabupaten Sumedang melakukan pendampingan terkait digitalisasi, reservasi, dan restorasi Naskah Kuno yang bertempat di Sapphire Hotel Sumedang pada Selasa, 21 Februari 2023.

Preservasi, konservasi, dan restorasi bukan hanya kegiatan untuk merawat, melestarikan dan memperbaiki atau melindungi saja. Tetapi juga didalamnya terdapat unsur pengelolaan dalam hal penggunaan teknik, metode atau proses. 

Pada dasarnya reservasi atau pelestarian bertujuan untuk melestarikan informasi yang terkandung dalam bahan pustaka agar dapat dipertahankan keutuhannya. Sedangkan konservasi atau pengawetan lebih ke cara atau teknik, proses, metode yang digunakan untuk melindungi bahan pustaka agar tidak mudah rusak. Lain halnya dengan restorasi, lebih ke memperbaiki bahan pustaka yang sudah rusak agar bahan pustaka tersebut dapat kembali seperti sediakala. 

Kegiatan Preservasi dan Pendigitalisasian naskah kuno tersebut ada sekitar 90 naskah kuno dari Disparbudpora Kabupaten Sumedang yang diserahkan. Menurut Dr. Hj. Cucu Suhartini, M.Hum. dalam chanel youtube ONEDIGINEWS kebanyakan naskah-naskah kuno tersebut berisi wawacan dan lainnya. 

Menurut tim Filolog MGMP Bahasa Sunda, Mia Sugiarti, untuk saat ini ada tambahan lagi naskah kuno, “sekarang ada sekitar 190 naskah kuno yang akan didigitalisasikan yang ada di Kabupaten Sumedang.” ujarnya saat ditemui, Kamis, 9 Maret 2023. Wah makin tahu Indonesia yah, ternyata di Sumedang ada banyak juga, itu pun sepertinya belum semua. Pasti masih ada lagi.

Kegiatan tersebut adalah dalam rangka penyelamatan warisan budaya leluhur, agar tersimpan dengan baik dan juga nantinya bisa disebarluaskan kepada masyarakat, agar masyarakat tahu tentang isi-isi yang ada dalam naskah kuno, karena banyak mengandung pembelajaran positif.

Disclaimer:
Berita ini sepenuhnya diambil dari website InimahSumedang.com yang dapat dilihat pada tautan berikut ini: https://inimahsumedang.com/pendigitalisasian-naskah-kuno-yang-ada-di-sumedang/