Ki Darsum, Pawang Ular Batu Karut : Dikenal sebagai Ki Kebo Kenongo

Foto: Ki Darsum Diva Atmaya (Ki Kebo Kenongo) saat memperlihatkan salah satu jenis ular jinak di sekitar Batu Karut, Cibeureum Wetan.

Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI / MTsS Persis Sumedang

Cimalaka, Sumedang (22 Oktober 2025) — Sosok Ki Darsum Diva Atmaya, yang lebih dikenal dengan nama Ki Kebo Kenongo, merupakan salah satu pawang ular legendaris asal Dusun Batu Karut RT 01 RW 05, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang.

Pria yang kini berusia sekitar 70 tahun ini telah menekuni dunia kepawang-an sejak masih kecil. Ia mengaku mulai mengenal ular sejak usia tujuh tahun dan hingga kini tetap aktif membantu masyarakat ketika menghadapi situasi berbahaya yang melibatkan hewan melata tersebut.

“Ular itu bukan musuh manusia. Ia punya tempat dan tugasnya sendiri dalam menjaga keseimbangan alam. Kita hanya perlu memahami dan menghormatinya,” ujar Ki Darsum dengan nada tenang saat ditemui di kediamannya.

Dengan pengalaman selama lebih dari enam dekade, Ki Darsum dikenal mampu menangani berbagai jenis ular tanpa menggunakan kekerasan. Metodenya lebih menekankan pada pendekatan alami dan pemahaman perilaku hewan.

Selain berperan sebagai pawang, Ki Darsum juga dikenal sebagai penjaga kearifan lokal yang kerap memberikan nasihat kepada warga untuk hidup selaras dengan alam. Ia menekankan pentingnya tidak membunuh hewan liar sembarangan dan menjaga lingkungan sekitar.

Kepala Dusun 2 Batu Karut, Nedi, mengungkapkan kebanggaannya terhadap sosok Ki Darsum.

“Beliau bukan hanya pawang ular, tapi juga pelestari nilai-nilai budaya dan pengetahuan tradisional. Banyak warga yang menjadikan beliau panutan dalam memahami alam,” tutur Nedi.

Dengan kesederhanaan dan ketekunannya, Ki Darsum Diva Atmaya alias Ki Kebo Kenongo menjadi simbol kearifan lokal yang terus hidup di tengah masyarakat Cibeureum Wetan, menjaga warisan pengetahuan alam agar tidak hilang ditelan zaman.

Hidayat Suryalaga: Budayawan, Sastrawan, dan Guru Bahasa Sunda

Hidayat Suryalaga (lengkapnya Drs. H. R. Hidayat Suryalaga) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan guru bahasa Sunda yang lahir di Banjarsari, Ciamis pada 16 Januari 1941. Ia wafat pada 25 Desember 2010 di Bandung pada usia 69 tahun. Beliau dikenal sebagai tokoh yang menjembatani dan menyelaraskan ajaran Islam dengan budaya Sunda. 

Kehidupan awal dan pendidikan

  1. Lahir dari pasangan Raden Sukanda dan Raden Siti Marhamah di Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat.
  2. Menempuh pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, termasuk di Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Guru B (SGB), dan Sekolah Guru Atas (SGA).
  3. Mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Sastra (FS) Universitas Padjadjaran (Unpad). 

Karier dan pengabdian

  1. Mengawali kariernya sebagai guru di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1958 hingga 1966.
  2. Melanjutkan sebagai guru di tingkat SMP (1966–1978), SGA (1978–1980), dan SMA (1980–1984).
  3. Menjadi dosen di Fakultas Sastra Unpad (1986–1998) dan Universitas Pasundan (Unpas) (1992–2001).
  4. Aktif sebagai penulis produktif, terutama naskah drama berbahasa Sunda dan cerita pendek.
  5. Menjadi pengasuh rubrik bahasa dan sastra Sunda di majalah Sunda ternama seperti majalah Mangle, majalah Galura, dan majalah Hanjuang

Pemikiran dan karya

  1. Memiliki pemikiran yang mendalam tentang Islam dan budaya Sunda, serta menyelaraskan kedua nilai tersebut.
  2. Terkenal dengan karyanya, Nur Hidayah Saritilawah Basa Sunda Al Quran, yang merupakan tafsir Al-Quran dalam bahasa Sunda.
  3. Beberapa karyanya yang lain termasuk: Rawayan Jati Kasundaan (tentang filsafat dan kehidupan sosial masyarakat Sunda); Kumpulan cerita drama, seperti Kumpulan Carita Drama Karya R. Hidayat Suryalaga; serta Berbagai buku dan riset mengenai budaya dan sastra Sunda.

    Kehidupan pribadi

    1. Menikah dengan Hj. Ritha Margaretha Abdurahman de Vries.
    2. Dikaruniai enam orang anak, terdiri dari empat laki-laki dan dua perempuan. 

    Penghormatan dan warisan

    1. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia sastra dan budaya Sunda.
    2. Karya dan pemikirannya menjadi sumber rujukan bagi peneliti yang tertarik dengan perpaduan Islam dan budaya Sunda.
    3. Dianggap sebagai salah satu tokoh Sunda terbaik karena dedikasi dan kontribusinya dalam melestarikan budaya dan bahasa Sunda.