Penulis: Mahdi – Rumah Literasi BERSERI
Abstrak
Kebudayaan Sunda dikenal memiliki pandangan hidup yang sangat menghargai alam. Alam dipandang bukan sekadar sumber kehidupan, melainkan sahabat spiritual dan cerminan kebesaran Sang Pencipta. Artikel ini membahas hubungan manusia dan alam dalam pandangan budaya Sunda, serta meninjaunya dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Hasil kajian menunjukkan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukan hanya nilai budaya, tetapi juga ajaran teologis yang kuat dalam Islam.
Kata kunci: Sunda, Alam, Ekologi Islam, Al-Qur’an, Hadits, Kearifan Lokal.
Pendahuluan
Orang Sunda kerap berkata, “Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.” Artinya: jika hutan rusak dan air hilang, maka manusia akan sengsara. Ungkapan ini bukan sekadar peribahasa, tetapi pandangan filosofis yang lahir dari kesadaran ekologis mendalam. Bagi masyarakat Sunda, alam adalah “guru” yang mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan ketertiban hidup. Nilai-nilai ini sejatinya sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah (pemelihara) di bumi. Dalam Al-Qur’an, manusia tidak diperintahkan untuk menaklukkan alam, melainkan mengelola dan menjaga keseimbangannya. “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi.” (QS. Fathir [35]: 39)
Pandangan Alam dalam Falsafah Sunda
Dalam pandangan tradisional Sunda, alam disebut sebagai “karuhun hirup” — leluhur yang hidup, bukan benda mati. Gunung, leuweung (hutan), walungan (sungai), jeung taneuh (tanah) dipandang memiliki ruh dan martabat yang harus dihormati. Pepatah Sunda sering menasihatkan: “Ngajaga leuweung sarua jeung ngajaga diri sorangan.” Menjaga hutan sama artinya dengan menjaga kehidupan sendiri. Sikap ini bukan bentuk penyembahan alam, tetapi ekspresi rasa hormat terhadap ciptaan Tuhan. Alam adalah titipan Gusti, bukan milik manusia sepenuhnya. Dalam konteks ini, pandangan Sunda sejajar dengan prinsip Islam bahwa segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 120)
Manusia sebagai Khalifah dan Amanah Ekologis
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk beribadah dalam arti ritual, tetapi juga untuk menjaga bumi sebagai amanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Khalifah berarti pemimpin yang bertanggung jawab — bukan penguasa yang sewenang-wenang. Dalam konteks budaya Sunda, nilai ini terwujud dalam konsep “silih asih, silih asah, silih asuh” — hidup dengan kasih, belajar bersama, dan saling menjaga, termasuk menjaga lingkungan sekitar.
Alam sebagai Ayat Kauniyah
Baik dalam budaya Sunda maupun Islam, alam dilihat sebagai tanda kebesaran Tuhan (ayat kauniyah). Gunung, hujan, dan tumbuhan menjadi simbol keteraturan dan kasih sayang Allah. Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.”(QS. Ali ‘Imran [3]: 190). Orang Sunda memaknai hal ini dengan pendekatan rasa: ngarasakeun alam — merasakan, bukan sekadar melihat. Rasa hormat terhadap alam adalah bentuk dzikir budaya; yaitu mengingat Tuhan lewat ciptaan-Nya.
Hadits tentang Etika Alam
Rasulullah ﷺ mencontohkan akhlak ekologis dalam banyak hadits. Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menabur benih, kemudian burung, manusia, atau binatang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 2320, Muslim no. 1553). Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya“. (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Nilai-nilai ini sangat dekat dengan filosofi Sunda tentang tata titi duduga peryoga — berbuat sesuatu dengan hati-hati, tidak merusak keseimbangan, dan selalu mempertimbangkan akibat terhadap alam dan sesama makhluk.
Harmoni sebagai Landasan Spiritualitas
Hubungan manusia dan alam di tanah Sunda berlandaskan prinsip harmoni: manusa, alam, jeung Gusti berada dalam satu kesatuan kosmis.
Islam pun menegaskan bahwa semua makhluk bertasbih kepada Allah: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kamu tidak memahami tasbih mereka.” (QS. Al-Isra’ [17]: 44). Maka, ketika manusia menjaga alam, ia sesungguhnya sedang menghormati makhluk lain yang juga sedang beribadah. Kerusakan alam berarti mengganggu harmoni tasbih semesta.
Kesimpulan
Hubungan manusia dengan alam dalam pandangan Sunda dan Islam berangkat dari prinsip yang sama: keseimbangan, penghormatan, dan tanggung jawab. Masyarakat Sunda mengenal konsep “leuweung hejo, cai hérang, manusa ngarumat” — hutan hijau, air jernih, manusia pemelihara. Islam menegaskan prinsip yang sama melalui ayat dan hadits tentang khalifah, larangan merusak bumi, dan anjuran menanam serta berbuat baik terhadap makhluk hidup. Maka, menyatukan nilai-nilai budaya Sunda dan ajaran Islam bukanlah hal baru, melainkan kembali pada akar keislaman Nusantara yang menjunjung tinggi harmoni antara iman, ilmu, dan alam.
Daftar Rujukan
- Al-Qur’an al-Karim
- Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
- Nasr, S. H. (1993). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
- Tim BPNB Jawa Barat. (2019). Nilai-Nilai Ekologis dalam Tradisi Sunda. Bandung: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
- Danasasmita, S. (1986). Filsafat Hidup Orang Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Sunda.
Catatan Reflektif:
Tulisan ini bisa diakhiri dengan kutipan pribadi seperti: “Menjaga alam bukan hanya kewajiban budaya, tetapi ibadah yang menghidupkan jiwa. Alam adalah kitab Allah yang terbentang luas di Tanah Sunda.”
— Mahdi, Rumah Literasi BERSERI