Penulis: Admin Komunitas PENAKU
Di tengah arus modernisasi yang pesat, Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang melimpah terus berupaya menjaga akar sejarahnya. Salah satu bentuk upaya tersebut tercermin dalam Peraturan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2024 tentang Pelestarian Naskah Kuno, yang ditetapkan pada 3 September 2024 oleh Plt. Kepala Perpustakaan Nasional, E. Aminudin Aziz. Peraturan ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan komitmen nasional untuk melindungi naskah-naskah kuno—dokumen tulisan tangan berumur minimal 50 tahun yang menyimpan nilai kebudayaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Seperti yang diungkapkan dalam pertimbangan peraturan, naskah kuno adalah karya intelektual yang menjadi pondasi peradaban bangsa, dan tanpa pelestarian yang sistematis, mereka rentan terhadap kerusakan atau bahkan kepunahan.
Peraturan ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk memberikan landasan hukum yang kuat, mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan serta peraturan pemerintah terkait lainnya. Di dalamnya, pelestarian didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk menyelamatkan dan memperpanjang usia naskah melalui pendataan, pemetaan, konservasi, restorasi, dan alih media. Pendekatan ini dilakukan secara berjenjang, melibatkan Perpustakaan Nasional sebagai koordinator utama, Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pelaksana di daerah, serta pemilik naskah kuno yang bertanggung jawab atas koleksi pribadinya. Pemilik bahkan bisa meminta pendampingan dari perpustakaan terkait, menekankan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Tahapan pelestarian dimulai dari pendataan, di mana tim khusus menghimpun data kerusakan naskah, mengidentifikasi jenis dan tingkat kerusakan (dari baik hingga berat), serta memverifikasi kebenaran data. Selanjutnya, pemetaan menentukan lokasi dan pemilik naskah prioritas. Konservasi dan restorasi menjadi inti fisik pelestarian: konservasi mencakup pemeliharaan lingkungan penyimpanan (seperti pengendalian suhu dan kelembaban), perawatan rutin (pembersihan debu dan pencegahan biota), serta perbaikan (dari praperbaikan hingga penjilidan ulang). Restorasi, di sisi lain, bertujuan mengembalikan kondisi asli dengan prinsip minimalis dan reversibel, seperti mengisi tulisan hilang atau memperbaiki jilidan. Tingkat kerusakan menentukan siapa yang menangani—kabupaten/kota untuk kerusakan ringan, provinsi untuk sedang, dan nasional untuk berat.
Tak kalah penting, alih media mengubah naskah fisik menjadi format digital untuk aksesibilitas lebih luas. Proses ini meliputi pemindaian, penyuntingan, dan pembuatan empat salinan digital yang diserahkan ke perpustakaan nasional, provinsi, kabupaten/kota, serta pemilik. Jika pemilik telah melakukan alih media dengan pihak lain, salinan tetap wajib diserahkan. Peraturan juga menekankan mitigasi bencana, mulai dari sosialisasi prabencana hingga perbaikan pascabencana, untuk mencegah kehilangan akibat banjir, gempa, atau kebakaran.
Untuk mendukung penyelenggaraan, peraturan mengatur penyediaan sarana prasarana seperti alat konservasi dan ruang khusus, peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui pelatihan dan bimbingan teknis, serta pembinaan melalui seminar, monitoring, dan bantuan peralatan. Sistem informasi pelestarian naskah kuno dikembangkan secara terintegrasi, dengan pemutakhiran data berkala oleh semua tingkat perpustakaan. Koordinasi dan kerja sama dengan pemilik naskah diwujudkan melalui perjanjian, termasuk tukar menukar data digital dan pemanfaatan sumber daya.
Pelaporan kegiatan dilakukan tahunan: kabupaten/kota ke provinsi, dan provinsi ke nasional. Naskah yang telah dialih media dapat didayagunakan untuk masyarakat, meskipun pemilik berhak menolak. Pendanaan bersumber dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya, memastikan keberlanjutan program.
Secara keseluruhan, peraturan ini bukan hanya aturan birokratis, melainkan langkah strategis untuk menjaga identitas bangsa. Di era digital saat ini, pelestarian naskah kuno seperti ini memastikan generasi mendatang tetap terhubung dengan akar budaya mereka, mencegah hilangnya pengetahuan berharga yang telah bertahan ratusan tahun. Dengan implementasi yang baik, Indonesia bisa menjadi teladan dalam pelestarian warisan dunia.